Jika mereka tak ikut bergabung langsung di daerah konflik, perempuan-perempuan tersebut memilih "berjihad" di negerinya sendiriÂ
Walaupun sebenarnya jika kita melihat jauh ke belakang di wilayah konflik Timur Tengah dan di Asia Selatan keterlibatan perempuan sebagai eksekutor teror telah terjadi sejak lama.
Namun tentu saja ada perbedaan mendasar antara teror masa kini dengan masa lalu, seperti ideologi dan niat yang mendasarinya serta teknologi informasi yang melatarinya.
Menurut Jessica Devis dalam Jurnal-nya berjudul "Evolution of The Global Jihad: Female Suicide Bombers in Iraq"
Perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri mulai ada sejak tahun 1960-an, sejak saat itu populasi pelakunya terus meningkat.
Selama tahun 1995 hingga 2006, 15 persen pelaku serangan bunuh diri yang terjadi di dunia dilakukan oleh perempuan. Salah satu Organisasi "teroris" yang paling awal menggunakan perempuan sebagai martir adalah Boko Haram, organisasi teroris asal Nigeria.
Mereka pula lah yang disebut pihak yang paling sering menggunakan perempuan sebagai eksekutor dalam tindakan terornya.
Kemudian ada Macan Pembebasan Tamil  Elaam di Srilanka dan Bangladesh. Sementara kelompok-kelompok terorisme kontemporer  semacam Al Qaida dan ISIS misalnya, baru belakangan menggunakan perempuan sebagai eksekutor.
Lantaran dalam organisasi terorisme berlatar "penyalahgunaan agama Islam" perempuan dianggap tak berperan signifikan, mereka hanya pelaku jihad kecil, meski kini polanya mulai berubah.
Makanya perempuan jika menilik sejarah teror lebih banyak berperan dalam organisasi yang berideologi kiri, karena kondisinya cenderung kondusif bagi partisipasi perempuan dalam peran kombatan dan peran non-tradisional lainnya.
Namun demikian seiring perjalanan waktu, semua organisasi kini mulai membuka diri terhadap partisipasi perempuan dalam peran kombatan.