Sehingga sejak usia cukup dini anak-anak itu sudah mulai dipapari virus intoleran. Makanya sebagian besar mereka yang sudah terpapar virus tersebut menjadi sulit menerima argumen rasional yang dipergunakan untuk menyadarkan mereka.
Lantaran  nalar dan rasionalitas itu tak selalu sejalan dengan pandangan teologi yang kadung menempel dalam pikiran mereka dan moralitas dalam kaca mata mereka.
Kondisi ini kemudian ditambah dengan pandangan politik yang sengaja dijual oleh para politisi dan ormas-ormas yang kerap menggunakan politik identitas sebagai bahan jualannya.
Contohnya tentang keharusan memilih pemimpin seagama, tinggal di satu kompleks yang sama, hingga berobat ke rumah sakit yang mencantumkan nama agama tertentu. Segregasi sosial sengaja diciptakan untuk memisahkan antara "kita" dengan "mereka."
Pemerintah memang bisa saja dan hingga titik tertentu sudah melakukan pelarangan terhadap ormas-ormas yang dikenal intoleran.
Namun selama ideologinya tetap eksis, maka ormas bisa bersalin rupa dan wajah apalagi jika hanya tinggal berganti nama saja, ya jualannya tetap sama meskipun merk dagangnya berbedaÂ
Maraknya intoleransi yang kemudian menjadi aksi-aksi terorisme seperti yang terjadi di Makasar kemarin adalah gejala pembajakan agama.
Para pelakunya selalu menisbahkan aksi mereka sebagai sebuah panggilan suci atas dasar agama yang mereka yakini.
Padahal, apa yang mereka pertontonkan bertolak belakang secara diametral dengan pesan otentik agama, yang mengajarkan kedamaian, cinta kasih dan toleransi.Â
Masalahnya, siapapun bisa membajak agama demi keuntungannya sendiri atauÂ
seperti kata Shakespeare,Â