Ketiga, persoalan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering dikatakan oleh para ahli ekonomi politik dan sosiolog menjadi bibit paling subur munculnya intoleransi dan kekerasan.
Keempat, masalah pemahaman teks keagamaan. Ini merupakan produk lama yang senantiasa direproduksi oleh para pemberi "mandat terror" dan para "mandat intoleransi" bahwa agama kita mengajarkan untuk jihad dengan fisik.
Jihad fisik dikondisikan sebagai jihad yang sesungguhnya maka tak heran anak-anak muda yang masih kurang pemahaman agamanya, tanpa ba bi bu akan segera melaksanakannya.
Mengapa intoleransi kaum muda ini penting menjadi perhatian, para ilmuwan sosial menyebutkan bahwa secara umum intoleransi merupakan tahap awal atau dasar sebelum melakukakan tindakan radikalisme, dan kemudian terorisme.
Maka bisa dikatakan terorisme merupakan anak kandung dari intoleransi. Terorisme tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir, hidup dan berkembang biak dalam rahim intoleransi.
Kondisi ini terbantu oleh Pertumbuhan media sosial yang begitu cepat, menjadikan virus intoleransi menyebar ke semua lini tanpa kecuali.Â
Penyemaian dan persebaran bibit intoleransi dan paham radikal mendapat panggungnya lewat komunikasi jejaring  media sosial dan aplikasi percakapan seperti Whatsapp dan Telegram.
Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta yang dilakukan pada akhir 2019 lalu, menemukan bahwa mayoritas guru beragama Islam memiliki opini intoleran yang sangat tinggi.
Dalam survei PPIM ini mengambil sampel 2.237 guru Muslim, mereka terdiri dari guru TK, Raudatul Athfal, SD, Madrasah Ibtidaiyah (MI), SMP, Madrasah Tsanawiyah (MTS), SMA, dan Madrasah Aliyah (MA) di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, PPIM menemukan sebanyak 10,01 persen guru Muslim punya opini sangat intoleran secara implisit dan 53,06 persen memiliki opini yang intoleran secara implisit. Selain itu, 6,03 persen guru Muslim memiliki opini sangat intoleran dan 50,87 persen guru memiliki opini intoleran secara eksplisit.
Hal ini lah yang sepertinya mempersulit penanganan intoleransi, dengan asumsi pandangan para guru ini kemudian mereka sampaikan pada murid-muridnya.