Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Intoleransi Sejak Dini Merupakan Ibu Kandung dari Terorisme di Kalangan Milenial

30 Maret 2021   09:24 Diperbarui: 30 Maret 2021   11:12 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menyebutkan bahwa identitas teroris yang melakukan teror bom bunuh diri di depan Gereja Katedral di pusat Kota Makassar, adalah sepasang suami istri yang baru menikah 6 bulan lalu  dan mereka adalah pasangan teroris milenial.

"Karena teridentifikasi pelaku kelahiran tahun '95, jadi inisialnya L dengan istrinya adalah termasuk tentunya kalangan milenial yang sudah menjadi ciri khas korban dari propaganda jaringan teroris," Kata Boy, Seperti dilansir Detik.com. Senin (29/03/21).

Fakta ini cukup membuat kita miris, propaganda jaringan teroris sudah merambah dan secara khusus menyasar kaum muda-mudi. 

Aksi-aksi terorisme yang melibatkan anak muda seperti yang terjadi di Gereja Katedral di Makassar tidak berdiri sendiri. Terdapat banyak faktor yang memengaruhi keterlibatan mereka dalam aksi teror seperti itu.

Salah satunya karena konstelasi politik nasional Indonesia masih saja terpolarisasi akibat pertarungan politik mulai dari 7 tahun lalu. 

Para politisi yang gemar berpolitik dengan menggunakan politik identitas untuk menaikan elektabilitas seharusnya menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab.

Karena penggunaan politik identitas, disadari atau tidak kemudian melahirkan intoleransi meskipun memang kondisi ini terbantu oleh trend pengerasan ideologi beragama yang menurut Prof Azyumardi Azra menemukan momennya saat reformasi terjadi di Indonesia mulai dari awal tahun 2000-an.

Apalagi kemudian ketika teknologi informasi mulai berkembang, platform media sosial dan aplikasi percakapan menjadi salah satu media untuk menyebarkan informasi yang beragam termasuk ideologi beragama dengan narasi-narasi cukup keras yang bisa menumbuhkan intoleransi di kalangan muda.

Meskipun memang tumbuhnya intoleransi di kalangan muda pun tak hanya karena satu faktor. Sekurang-kurangnya ada 4 faktor yang melatarinya.

Pertama, soal kesiapan mental anak-anak muda yang belum matang, sehingga mereka mudah terpengaruh oleh hal-hal yang datang dari peer grupnya atau kalangan yang berpengaruh seperti yang mereka anggap sebagai panutan semisal ulama atau pendakwah tertentu.

Kedua, ketimpangan politik yang memunculkan spekulasi bahwa kaum muda kurang memiliki akses memadai padahal mereka dianggap sebagai tulang punggung Indonesia di masa depan.

Ketiga, persoalan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering dikatakan oleh para ahli ekonomi politik dan sosiolog menjadi bibit paling subur munculnya intoleransi dan kekerasan.

Keempat, masalah pemahaman teks keagamaan. Ini merupakan produk lama yang senantiasa direproduksi oleh para pemberi "mandat terror" dan para "mandat intoleransi" bahwa agama kita mengajarkan untuk jihad dengan fisik.

Jihad fisik dikondisikan sebagai jihad yang sesungguhnya maka tak heran anak-anak muda yang masih kurang pemahaman agamanya, tanpa ba bi bu akan segera melaksanakannya.

Mengapa intoleransi kaum muda ini penting menjadi perhatian, para ilmuwan sosial menyebutkan bahwa secara umum intoleransi merupakan tahap awal atau dasar sebelum melakukakan tindakan radikalisme, dan kemudian terorisme.

Maka bisa dikatakan terorisme merupakan anak kandung dari intoleransi. Terorisme tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir, hidup dan berkembang biak dalam rahim intoleransi.

Kondisi ini terbantu oleh Pertumbuhan media sosial yang begitu cepat, menjadikan virus intoleransi menyebar ke semua lini tanpa kecuali. 

Penyemaian dan persebaran bibit intoleransi dan paham radikal mendapat panggungnya lewat komunikasi jejaring  media sosial dan aplikasi percakapan seperti Whatsapp dan Telegram.

Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta yang dilakukan pada akhir 2019 lalu, menemukan bahwa mayoritas guru beragama Islam memiliki opini intoleran yang sangat tinggi.

Dalam survei PPIM ini mengambil sampel 2.237 guru Muslim, mereka terdiri dari guru TK, Raudatul Athfal, SD, Madrasah Ibtidaiyah (MI), SMP, Madrasah Tsanawiyah (MTS), SMA, dan Madrasah Aliyah (MA) di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, PPIM menemukan sebanyak 10,01 persen guru Muslim punya opini sangat intoleran secara implisit dan 53,06 persen memiliki opini yang intoleran secara implisit. Selain itu, 6,03 persen guru Muslim memiliki opini sangat intoleran dan 50,87 persen guru memiliki opini intoleran secara eksplisit.

Hal ini lah yang sepertinya mempersulit penanganan intoleransi, dengan asumsi pandangan para guru ini kemudian mereka sampaikan pada murid-muridnya.

Sehingga sejak usia cukup dini anak-anak itu sudah mulai dipapari virus intoleran. Makanya sebagian besar mereka yang sudah terpapar virus tersebut menjadi sulit menerima argumen rasional yang dipergunakan untuk menyadarkan mereka.

Lantaran  nalar dan rasionalitas itu tak selalu sejalan dengan pandangan teologi yang kadung menempel dalam pikiran mereka dan moralitas dalam kaca mata mereka.

Kondisi ini kemudian ditambah dengan pandangan politik yang sengaja dijual oleh para politisi dan ormas-ormas yang kerap menggunakan politik identitas sebagai bahan jualannya.

Contohnya tentang keharusan memilih pemimpin seagama, tinggal di satu kompleks yang sama, hingga berobat ke rumah sakit yang mencantumkan nama agama tertentu. Segregasi sosial sengaja diciptakan untuk memisahkan antara "kita" dengan "mereka."

Pemerintah memang bisa saja dan hingga titik tertentu sudah melakukan pelarangan terhadap ormas-ormas yang dikenal intoleran.

Namun selama ideologinya tetap eksis, maka ormas bisa bersalin rupa dan wajah apalagi jika hanya tinggal berganti nama saja, ya jualannya tetap sama meskipun merk dagangnya berbeda 

Maraknya intoleransi yang kemudian menjadi aksi-aksi terorisme seperti yang terjadi di Makasar kemarin adalah gejala pembajakan agama.

Para pelakunya selalu menisbahkan aksi mereka sebagai sebuah panggilan suci atas dasar agama yang mereka yakini.

Padahal, apa yang mereka pertontonkan bertolak belakang secara diametral dengan pesan otentik agama, yang mengajarkan kedamaian, cinta kasih dan toleransi. 

Masalahnya, siapapun bisa membajak agama demi keuntungannya sendiri atau 

seperti kata Shakespeare, 

 "bahkan setan pun bisa mengutip kitab suci untuk kepentingannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun