Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pencabutan Perpres Nomor 10/2021 tentang Investasi, Bukti Kegagalan Komunikasi Pemerintah Jokowi

4 Maret 2021   09:10 Diperbarui: 4 Maret 2021   09:19 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lampiran Peraturan Presiden Nomor 10  tahun 2021 yang mengatur izin investasi Miras di daerah tertentu telah dicabut oleh Presiden Jokowi setelah secara bertubi-tubi banyak pihak merasa keberatan dengan aturan yang  tertera dalam lampiran Perpres miras tersebut.

Mungkin Jokowi berpikir ya sudah lah, daripada ribut yang ujungnya bakal berimplikasi politis dan berpotensi menimbulkan kegaduhan, lampiran dalam Perpres Miras itu dicabut saja.

Kejadian ini sebenarnya menunjukan sejumlah hal terutama yang berkaitan dengan komunikasi pemerintah terhadap rakyatnya.

Cara Pemerintah Jokowi mengkomunikasikan kebijakannya itu benar-benar sangat buruk. Padahal sebenarnya kebijakan tersebut baik.

Hal itu dinyatakan sendiri oleh Jokowi berkali-kali, menurut catatan Kompas.Com,dalam setahun terakhir ini, 3 kali Presiden Jokowi mengeluhkan masalah komunikasi ini kepada para pembantunya di Kabinet.

Pertama, Saat memimpin rapat terbatas mengenai laporan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Istana Merdeka, Jakarta pada 24 Agustus 2020 lalu.

Hal, ini berkaitan dengan banyaknya pemberitaan negatif di berbagai media asing, yang menilai Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia kurang baik.

"Kalau yang saya baca dari para jurnalis, terutama (jurnalis) asing, ini yang karena komunikasi kita yang tidak... tidak... apa ya, tidak firm gitu. Tidak gamblang. Tidak jelas, sehingga yang mereka tulis itu sering hal-hal yang tidak baik," ucap Jokowi seperti dilansir Kompas.com.

Kedua,  Saat memimpin rapat terbatas mengenai antisipasi penyebaran Covid-19 saat libur panjang akhir Oktober 2020 di Istana Merdeka, Jakarta pada 19 Oktober 2020.

Presiden mengingatkan, agar seluruh jajarannya memberikan pemahaman secara rinci kepada masyarakat terkait rencana vaksinasi yang saat itu masih dalam tahap persiapan dan masih ada 2 sistem vaksinasi, gratis dan berbayar.

"Proses-proses komunikasi publik ini yang harus disiapkan, hati-hati, disiapkan betul. Siapa yang gratis, siapa yang mandiri, dijelasin betul, harus detail," kata Jokowi saat itu.

Ketiga, saat proses perancangan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Dan hal ini diakui oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko, yang menyatakan akibat komunikasi publik yang buruk Presiden sampai menegur secara langsung seluruh jajaran menterinya.

"Khusus omnibus Cipta Kerja, memang ada masukan dari banyak pihak. Kami semua ditegur Presiden, komunikasi publik kami sungguh sangat jelek," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (21/10/20).

Masalah serupa muncul lagi dalam Perpres Miras ini, masyarakat tak mendapat informasi yang komprehensif tapi mudah dipahami terkait beleid ini.

Sehingga menimbulkan kegaduhan dan penolakan yang berawal dari informasi samar yang sengaja dibuat misleading.

Di grup-grup  WA beredar ajakan penolakan aturan investasi miras dengan diksi "legalisasi miras".  Ini jelas disinformasi yang memancing emosi masyarakat agar melakukan penolakan.

Malangnya, tak ada komunikasi yang datang dari pemerintah untuk menjelaskan hal ini secara komprehensif kepada masyarakat. 

Padahal, faktanya tidak ada pelegalan miras. Perpres itu hanya mengatur soal investasi yang ingin mengembangkan bisnis di Indonesia. Khususnya yang berkaitan dengan industri minuman beralkohol.

Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) Selaku pihak yang berkepentingan dalam beleid ini baru berencana mengadakan pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia  dan berbagai organisasi Islam pekan ini setelah masalah ini ramai dan informasi tak jelas telah berseliweran di media sosial, padahal Perpres Miras sudah keluar sejak pertengahan Februari 2021.

Seharusnya sebelum Pepres miras ini keluar, pemerintah sudah melakukan sounding dengan pihak-pihak yang  berkepentingan dengan isu-isu tentang miras ini.

Masa mereka tak bisa mendeteksi mana-mana saja isu-isu yang sensitif dan rawan dibenturkan lewat politisasi agama.

Kita kan masyarakat Indonesia sudah sangat mafhum akan isu-isu yang akan dikait-kaitkan dengan agama, wong itu makanan sehari-hari kita kok.

Pertanyaannya kemudian, apakah setelah pencabutan lampiran Perpres nomor 10/2021 tentang Miras ini, segala minuman berakohol  tradisional yang diproduksi dan beredar saat ini di  berbagai wilayah Indonesia, peredaran dan produksinya akan berhenti?

Jawabannya " Ya tentu tidak" 

Menurut Staf Kepresiden Ali Muchtar Ngabalin, meskipun lampiran Perpres miras dicabut, daerah-daerah yang menghasilkan minuman keras lokal akan beroperasi seperti biasa.

Jadi bisa dikatakan tak ada pengaruhnya dengan volume peredaran miras seperti yang saat ini tengah berjalan, atau bisa jadi akan terus memburuk.

Artinya  produsen miras lokal akan tetap beroperasi dengan semrawut tanpa standar produksi  dan peredaran yang jelas. Padahal dalam lampiran beleid tersebut diatur standar teknis produksi yang dapat menghindarkan para penikmat yang secara tradisional mengkonsumsi alkohol dari ancaman kehilangan nyawa.

Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan sepanjang 2008 hingga 2013 ada sekitar 230 korban tewas akibat mengonsumsi miras tak berizin. Kemudian pada 2014 - 2018, jumlah korbannya naik dua kali lipat mencapai sekitar 540 orang.

Harus disadari juga bahwa pembukaan keran investasi seperti yang diatur dalam beleid tersebut tak akan serta merta berimplikasi pada meningkatnya konsumsi miras yang pembatasannya, dan tata cara penjualan standar usia konsumen, sudah diatur dalam sejumlah aturan pemerintah.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia ini hanya mengkonsumsi sekitar 0,8 liter minuman beralkohol per kapita per tahun, jauh dibanding rata-rata konsumsi di Asia Tenggara yang ada diangka 3,4 liter per kapita per tahun.

Artinya jika angka yang dicatat oleh WHO tadi lebih rendah dari fakta dilapangan, sebagian besar konsumsi minuman beralkohol di Indonesia itu tak tercatat alias ilegal.

Dengan fakta-fakta ini, sebenarnya beleid ini tak bisa dibilang buruk juga lantaran beleid ini mengatur atau menata ulang produksi dan peredaran miras tradisional agar aman dan sscara ekonomi mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang secara tradisional banyak produsen miras, dan konsumennya menjadi lebih terlindungi, bukan mencari konsumen baru, apalagi sebagai upaya legalisasi miras.

Jadi masalah dalam beleid ini ada di masalah komunikasi, ke depan sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan seharusnya melakukan kajian menyeluruh termasuk aspek sosial politis kebijakan.

Dengan cara menggandeng stakeholder yang diperkirakan bakal terdampak dengan kebijakan tersebut.

Komunikasikanlah secara bertahap kepada publik terkait isi dari aturan itu, sebelum disahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun