Ketiga, saat proses perancangan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Dan hal ini diakui oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko, yang menyatakan akibat komunikasi publik yang buruk Presiden sampai menegur secara langsung seluruh jajaran menterinya.
"Khusus omnibus Cipta Kerja, memang ada masukan dari banyak pihak. Kami semua ditegur Presiden, komunikasi publik kami sungguh sangat jelek," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (21/10/20).
Masalah serupa muncul lagi dalam Perpres Miras ini, masyarakat tak mendapat informasi yang komprehensif tapi mudah dipahami terkait beleid ini.
Sehingga menimbulkan kegaduhan dan penolakan yang berawal dari informasi samar yang sengaja dibuat misleading.
Di grup-grup WA beredar ajakan penolakan aturan investasi miras dengan diksi "legalisasi miras".  Ini jelas disinformasi yang memancing emosi masyarakat agar melakukan penolakan.
Malangnya, tak ada komunikasi yang datang dari pemerintah untuk menjelaskan hal ini secara komprehensif kepada masyarakat.Â
Padahal, faktanya tidak ada pelegalan miras. Perpres itu hanya mengatur soal investasi yang ingin mengembangkan bisnis di Indonesia. Khususnya yang berkaitan dengan industri minuman beralkohol.
Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) Selaku pihak yang berkepentingan dalam beleid ini baru berencana mengadakan pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia  dan berbagai organisasi Islam pekan ini setelah masalah ini ramai dan informasi tak jelas telah berseliweran di media sosial, padahal Perpres Miras sudah keluar sejak pertengahan Februari 2021.
Seharusnya sebelum Pepres miras ini keluar, pemerintah sudah melakukan sounding dengan pihak-pihak yang  berkepentingan dengan isu-isu tentang miras ini.
Masa mereka tak bisa mendeteksi mana-mana saja isu-isu yang sensitif dan rawan dibenturkan lewat politisasi agama.