Pendengung menggunakan beragam strategi untuk mengamplifikasi sebuah pesan. Salah satunya, pendengung menggunakan akun bot secara masif dengan memanfaatkan otomasi mesin dan algoritma media sosial sehingga dapat menghasilkan kicauan frekuensi tinggi dan mencapai trending topik.
Dalam beberapa kasus, pendengung juga menggunakan bot untuk membuat dan memenangkan polling pilihan calon presiden dan calon wakil presiden seperti yang terjadi pada pilpres 2019 lalu.
Jika kemudian ditelusuri mungkin dari sini lahirnya asumsi bahwa seseorang disebut buzzer itu berbayar dan pihak yang memihak pemerintah sudah dapat dipastikan berbayar lantaran pemerintah dianggap memiliki kemampuan untuk itu.
Apalagi kemudian Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan ada anggaran dI sejumlah Kementerian dan Lembaga Negara untuk pendengung atau dalam bahasa lain influencer ini cukup besar hingga di kisaran puluhan miliar rupiah.
Padahal angka ini sifatnya multi years dan lintas Kementerian dan Lembaga Negara dengan keperluan yang jelas, terutama untuk mempromosikan sektor pariwisata dan sejumlah sosialisasi kebijakan pemerintah yang sifatnya terukur.
Hal ini lah kemudian di framing oleh "buzzer" dari pihak yang bersebarangan dengan pemerintah, yang menjadikan seolah-olah istilah buzzer itu hanya pantas disematkan pada mereka yang berpihak pada pemerintah.
Padahal tindakan yang mereka lakukan dengan penggiringan opini itu adalah ya "buzzering" itu sendiri.Â
Jadi ya sah-sah saja, membela kebijakan pemerintah maupun mengkritik kebijakan pemerintah kedudukan keduanya setara, tak ada yang salah. Yang terpenting berbasis data, fakta, Â argumentasi yang kuat dan tak menggunakan isu SARA, berita hoaks atau merendahkan martabat manusia lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H