Jika pun mereka menggunakan dan dan fakta, seringkali mereka men-twist data-data tersebut menjadi misleading agar menjadi keuntungan buat mereka.Meskipun  itu bisa jadi menjadi sebuah kebaikan lantaran membuka ruang diskursus baru atas suatu isu.Â
Tapi pertanyaannya kemudian mengapa pemilik opini mendukung pemerintah itu di-framing sangat buruk oleh mereka dan pihak-pihak yang menganggap dirinya "netral"
Jangan-jangan benar apa yang diungkapkan oleh Denny Siregar lewat akun Twitternya yang menyebutkan bahwa mereka melakukan framing buruk terhadap "buzzer" pemerintah karena mereka kalah dalam berargumentasi.
Jadi mahkluk apa sebenarnya buzzer ini?
Pendengung atau buzzer ini jika didefinisikan adalah individu/kelompok atau akun dengan kemampuan amplifikasi yang bergerak atas motif bayaran dan sukarela.
Definisi ini disimpulkan berdasarkan kata buzz yang merupakan kata dasar dari Buzzer, yang memiliki arti suara rendah yang terus menerus dikeluarkan oleh lebah, menjadi terdengar seperti mendengung.
Sehingga dalam bahasa Indonesia kata buzzer disebut pendengung. Jika direlusuri eksistensi pendengung di Indonesia mulai sejak tahun 2009.
Mereka muncul pertama kali untuk mendukung promosi merek dan produk di berbagai platform media sosial. Tapi belakangan, sebutlah mulai tahun 2013 akhir saat Pilpres 2014 mulai memanas para pendengung ini mulai merambah ke dunia politik.
Konon katanya terdapat paket-paket tertentu dalam paket jasa dengung. Pada saat puncak keramaian pemilu seperti yang terjadi pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 kisaran harga paket per sepuluh cuitan di Twitter antara Rp.600.000 hingga Rp. 2,6 juta tergantung jumlah follower dan tingkat engagement-nya.
Bahkan kemudian partai politik dan calon legislatif atau pemimpin daerah/negara disebutkan memiliki alokasi dana khusus buat proyek dengungan ini dengan kisaran harga fantastis hingga Rp. 3 miliar per bulan.
Seperti halnya dalam iklan ada formula tertentu yang mengukur keberhasilan praktik pendengungan tersebut.