Pendengung A.ka Buzzer terus dipermasalahkan banyak pihak, memang apa salahnya dengan pendengung? Menyatakan keberpihakan atas sebuah isu atau terhadap sebuah kelompok itu menurut saya ya sah-sah saja, bukankah itu esensi dari demokrasi?
Keheranan saya yang lain ialah belakangan buzzer dalam konotasi yang buruk, lebih banyak disematkan kepada mereka yang unggahan atau cuitannya di media sosial mendukung kebijakan atau membela kepentingan Pemerintah Jokowi
Padahal jika mau lebih objektif dan faktanya memang seperti itu mereka yang gemar melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah atau hingga titik tertentu menguar ujaran kebencian bertebaran juga di media sosial.
Tidak percaya?Â
Saya mencoba melakukan penelitian sederhana dengan memerhatikan dan mencermati tagar-tagar yang dipabrikasi para pihak di platform media sosial Twitter.
Pihak yang selama ini bersebarangan ternyata lebih banyak mempabrikasi tagar-tagar yang diharapkan bisa mengarahkan opini publik.
Saya masih ingat benar ada tagar #rushmoney di Twitter hingga 2 kali dalam 4 bulan terakhir yang menggiring masyarakat untuk melakukan penarikan uang secara bersama-sama dalam jangka waktu yang singkat dan efeknya bakal merusak sistem keuangan negara dan jika di telisik yang menginisiasi tagar ini adalah pendengung yang berlawanan dengan pemerintah. Parahnya lagi dengungan ini tak berdasarkan data dan fakta yang valid.
Lebih jauh lagi, beberapa minggu lalu saat Gerakan Wakaf Uang dicanangkan oleh Presiden Jokowi tak berselang lama tagar #Rezimngemiswakaf naik kepermukaan  dan sempat menjadi trending topik di media sosial Twitter.
Siapa yang menginisiasi tagar ini, ya mereka yang dikenal sebagai pihak yang berseberangan dengan pemerintah seperti yang diungkapkan Tengku Zulkarnain mantan Wasekjen MUI yang dikenal kerap bersikap keras terhadap pemerintah lewat akun Twitternya @ustadtengkuzul
"Presiden Jokowi canangkan wakaf uang, maaf seribu maaf satu rupiah pun saya tidak mau ikut. Uang Jiwasraya dimaling, Asabri juga dimaling, BPJS Ketenagakerjaan juga kata Kejaksaan 43 Triliun. Tidak percaya (Gerakan Wakaf Uang), takut dimaling lagi." Cuitnya.
Cuitan Zul yang memiliki pengikut cukup banyak ini kemudian memicu cuitan lain yang diantaranya menggambarkan pemerintah Jokowi itu "Islam Phobia" namun saat membutuhkan dana men- genarate uang milik "Umat Islam".
Padahal menurut fakta dan data yang valid tak seperti itu. Mereka mencoba melakukan framing melalui  berbagai cuitan mereka di media sosial  bahwa sikap dan tindakan pemerintah Jokowi dalam penegakan hukum terhadap kelompok seperti FPI atau HTI adalah Islam Phobia namun saat butuh mereka meminta bantuan "umat Islam" yang diklaim oleh mereka seolah-olah seluruh umat Islam di Indonesia.
Hal serupa pun terjadi atas meninggalnya pendakwah Maheer At Tuwaalaibi ditahanan Bareskrim Polri, media sosial diramaikan dengan cuitan dan unggahan yang mem-framing bahwa  almarhum Maheer meninggal lantaran disiksa aparat Kepolisian.
Apakah tindakan-tindakan melakukan framing isu seperti yang mereka lakukan tersebut bukan bagian dari kerja dari seorang pendengung atau buzzer?
Kenapa kok ketika mereka (para oposan) mecuitkan sesuatu yang berpotensi menggiring opini bahwa kinerja pemerintah buruk tak dikategorikan sebagai buzzer.
Namun ketika mereka yang berpihak pada pemerimtah kemudian meluruskan atau melakukan counter narasi atas pengkontruksian opini buruk terhadap pemerintah yang mereka bangun seperti yang dilakukan oleh Denny Siregar atau yang sekarang lagi happening Abu janda disebut buzzer (dalam konotasi buruk).
Ini kan aneh..Â
Apa kah seseorang bisa disebut buzzer itu karena cuitannya berbayar? Saya kerap menulis banyak hal yang isinya melakukan pembelaan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, stand point-nya jelas saya ada dimana, boleh lah saya disebut sebagai pendukung Jokowi.
Meskipun saya bukan pendukung membabi buta, saya pendukung yang cenderung rasional buktinya bukan sekali dua kali juga saya mengkritik beberapa kebijakan Jokowi dengan sangat keras, salah satunya terkait pencalonan anak dan mantunya dalam Pilkada 2020 lalu.
Apakah dengan posisi saya sebagai pendukung Jokowi, kemudian saya mengungkapkan pendirian saya di medsos terhadap sebuah isu yang mendukung pemerintah saya bisa dikategorikan sebagai buzzer?
Jika memang begitu maka saya akan dengan bangga menyebut diri saya sebagai buzzer pro bono, lantaran tak sepeser pun saya menerima uang atas berbagai cuitan dan tulisan saya yang "membela"sejumlah kebijakan Pemerintah Jokowi.
Kenapa saya bangga karena acapkali dengungan yang dilontarkan oleh mereka itu tak berdasarkan data dan fakta yang valid.
Jika pun mereka menggunakan dan dan fakta, seringkali mereka men-twist data-data tersebut menjadi misleading agar menjadi keuntungan buat mereka.Meskipun  itu bisa jadi menjadi sebuah kebaikan lantaran membuka ruang diskursus baru atas suatu isu.Â
Tapi pertanyaannya kemudian mengapa pemilik opini mendukung pemerintah itu di-framing sangat buruk oleh mereka dan pihak-pihak yang menganggap dirinya "netral"
Jangan-jangan benar apa yang diungkapkan oleh Denny Siregar lewat akun Twitternya yang menyebutkan bahwa mereka melakukan framing buruk terhadap "buzzer" pemerintah karena mereka kalah dalam berargumentasi.
Jadi mahkluk apa sebenarnya buzzer ini?
Pendengung atau buzzer ini jika didefinisikan adalah individu/kelompok atau akun dengan kemampuan amplifikasi yang bergerak atas motif bayaran dan sukarela.
Definisi ini disimpulkan berdasarkan kata buzz yang merupakan kata dasar dari Buzzer, yang memiliki arti suara rendah yang terus menerus dikeluarkan oleh lebah, menjadi terdengar seperti mendengung.
Sehingga dalam bahasa Indonesia kata buzzer disebut pendengung. Jika direlusuri eksistensi pendengung di Indonesia mulai sejak tahun 2009.
Mereka muncul pertama kali untuk mendukung promosi merek dan produk di berbagai platform media sosial. Tapi belakangan, sebutlah mulai tahun 2013 akhir saat Pilpres 2014 mulai memanas para pendengung ini mulai merambah ke dunia politik.
Konon katanya terdapat paket-paket tertentu dalam paket jasa dengung. Pada saat puncak keramaian pemilu seperti yang terjadi pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 kisaran harga paket per sepuluh cuitan di Twitter antara Rp.600.000 hingga Rp. 2,6 juta tergantung jumlah follower dan tingkat engagement-nya.
Bahkan kemudian partai politik dan calon legislatif atau pemimpin daerah/negara disebutkan memiliki alokasi dana khusus buat proyek dengungan ini dengan kisaran harga fantastis hingga Rp. 3 miliar per bulan.
Seperti halnya dalam iklan ada formula tertentu yang mengukur keberhasilan praktik pendengungan tersebut.
Pendengung menggunakan beragam strategi untuk mengamplifikasi sebuah pesan. Salah satunya, pendengung menggunakan akun bot secara masif dengan memanfaatkan otomasi mesin dan algoritma media sosial sehingga dapat menghasilkan kicauan frekuensi tinggi dan mencapai trending topik.
Dalam beberapa kasus, pendengung juga menggunakan bot untuk membuat dan memenangkan polling pilihan calon presiden dan calon wakil presiden seperti yang terjadi pada pilpres 2019 lalu.
Jika kemudian ditelusuri mungkin dari sini lahirnya asumsi bahwa seseorang disebut buzzer itu berbayar dan pihak yang memihak pemerintah sudah dapat dipastikan berbayar lantaran pemerintah dianggap memiliki kemampuan untuk itu.
Apalagi kemudian Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan ada anggaran dI sejumlah Kementerian dan Lembaga Negara untuk pendengung atau dalam bahasa lain influencer ini cukup besar hingga di kisaran puluhan miliar rupiah.
Padahal angka ini sifatnya multi years dan lintas Kementerian dan Lembaga Negara dengan keperluan yang jelas, terutama untuk mempromosikan sektor pariwisata dan sejumlah sosialisasi kebijakan pemerintah yang sifatnya terukur.
Hal ini lah kemudian di framing oleh "buzzer" dari pihak yang bersebarangan dengan pemerintah, yang menjadikan seolah-olah istilah buzzer itu hanya pantas disematkan pada mereka yang berpihak pada pemerintah.
Padahal tindakan yang mereka lakukan dengan penggiringan opini itu adalah ya "buzzering" itu sendiri.Â
Jadi ya sah-sah saja, membela kebijakan pemerintah maupun mengkritik kebijakan pemerintah kedudukan keduanya setara, tak ada yang salah. Yang terpenting berbasis data, fakta, Â argumentasi yang kuat dan tak menggunakan isu SARA, berita hoaks atau merendahkan martabat manusia lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H