Poin pertama, mereka menemukan meskipun anak keluarga miskin memiliki pendidikan dan kemampuan matematika yang setara dengan keluarga non-miskin. Pendapatan anak keluarga miskin saat dewasa tetap lebih rendah dibandingkan dengan keluarga non-miskin.
Jadi pendidikan sepertinya tak bisa menghilangkan kerugian terlahir dari keluarga yang miskin.
Jelas sekali terlihat bahwa hidup dan terlahir dari keluarga non-miskin  memiliki privilege tersendiri bagi kesuksesan di masa dewasa kelak.
Seolah jika hidup dan terlahir sebagai orang non-miskin setengah kesuksesan telah diraihnya, sedangkan orang miskin yang hidup dalam kubangan kemiskinan seolah kehilangan jembatan untuk menuju sebuah kesuksesan.
Memang ada kasus-kasus yang membuktikan sebaliknya tapi itu hanya kasus-kasus tertentu saja yang jumlahnya hanya segelintir, secara keseluruhan jumlah yang jauh lebih banyak bukan seperti kasus-kasus anomali itu.
Kemiskinan itu seperti glass Ceiling yang membatasi kemumgkinan orang untuk keluar dari lingkaran yang menjerat erat kehidupan mereka.
Butuh effort lebih banyak bagi anak keluarga miskin untuk mencapai sesuatu seperti yang dicapai oleh anak keluarga non-miskin.
Ibarat lari maraton anak keluarga miskin mulai berlari dari 0 kilometer, sementara anak keluarga non-miskin mulai berlari dari kilometer 20. Sulit sekali mengejar mereka, dan kemudian menyamai saat finis.
Untuk itulah Pemerintah harus memberi jembatan agar mereka yang kurang beruntung mampu mengejar kesuksesan yang mungkin dicapai oleh mereka yang lebih beruntung.