Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemiskinan Bagai Jembatan Putus bagi Kesuksesan

6 Juni 2020   12:56 Diperbarui: 6 Juni 2020   12:54 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup dan kehidupan manusia di muka bumi memang sudah ada yang mengatur. Paradoks dan ambiguitas terkadang memang terjadi, namun yang konstan dan linier lebih sering terjadi.

Setiap kehidupan selalu menghendaki berujung kebahagian. Kebahagian itu sebenarnya bersifat nisbi, tak ada standar yang jelas yang dapat mengukur sebuah kebahagian.

Kebahagiaan bagi individu yang satu belum tentu menjadi kebahagian bagi individu yang satunya lagi. Seperti halnya yang saya rasakan, kebahagiaan akan dirasakan manusia manakala kebutuhan dan keinginannya bisa terpenuhi. 

Walaupun saya tak pernah tahu apakah yang saya rasakan saat itu merupakan kebahagiaan semu atau kebahagiaan hakiki seperti yang sering diucapkan para pendakwah atau para motivator, yang jelas saya merasa bahagia.

Itulah makanya ukuran kebahagian setiap manusia itu berbeda-beda karena keinginan dan kebutuhan setiap manusia juga berbeda-beda. 

Apakah kemudian setiap kebahagiaan selalu berkorelasi dengan hal-hal berbau materi? 

Selalu sih tidak tapi materi atau kekayaan merupakan salah satu prasyarat utama menggapai sebuah kebahagian.

Ketika ada orang yang berbicara menjadi kaya itu tak menjamin orang menjadi bahagia, orang itu menurut saya sedang menghibur diri dari kenyataan bahwa dirinya tidak kaya.

Oh berarti orang yang miskin itu tak bisa bahagia, ya tidak juga karena kebutuhan dan keinginan orang miskin dan orang kaya itu berbeda, karena keadaan yang mengharuskan demikian.

Misalnya ada orang yang untuk membeli kebutuhan pokok saja sulit sekali, begitu dirinya mampu memenuhi kebutuhan pokok tersebut maka orang itu akan berada dalam fase merasa bahagia.

Apakah hal serupa akan dirasakan juga oleh orang kaya yang dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan pokok tersebut, ya tidak.

Karena keinginan dan kebutuhan orang kaya tersebut bukan itu. Mungkin saja ia akan bahagia jika koleksi mobil mewahnya bertambah.

Opsi orang kaya untuk mencapai kebahagiaan itu lebih luas dibandingkan dengan orang miskin. Itu fakta tak terbantahkan.

Kemiskinan itu seperti lingkaran setan, orang tuanya miskin akan melahirkan anak yang miskin pula. Konon katanya, pendidikan akan mampu memutus mata rantai kemiskinan, itu betul. 

Karena dengan pendidikan orang akan mampu meraih kesuksesan baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga pada akhirnya mampu memutus mata rantai kemiskinan tersebut

Tapi untuk meraih kesuksesan lewat pendidikan itu tak semudah yang dibayangkan banyak variabel yang memengaruhinya.

Mulai dari asupan gizi saat sang jabang bayi ketika masih dalam kandungan dan saat ia masih anak-anak, sampai dengan kualitas pendidikan ketika mereka mulai mengenyam bangku pembelajaran di sekolah.

Memang ada cerita yang terjadi ketika anak seorang tukang becak yang miskin berhasil lulus pendidikan Doktoral di Universitas yang bergengsi di luar negeri, tapi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki orang tua kaya dan lulus dari Universitas yang memiliki kualifikasi serupa, itu perbandingannya bak bumi dan langit.

Anak tukang becak tadi itu seperti sebuah anomali dari rangkaian kehidupan. Itu seperti kado spesial dari Tuhan agar orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung masih memiliki asa.

Artinya anak yang terlahir dari orang tua yang kaya memiliki privilege untuk menjadi sukses saat mereka dewasa. Dan anak yang terlahir dari orang tua yang miskin akan sulit menjadi sukses saat ia dewasa kelak.

Kondisi ini sudah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh SMERU Institute, sebuah lembaga Think Tank yang fokus bahasannya tentang masalah kemiskinan di Indonesia.

Menurut penelitian SMERU, terdapat 7 mediator  yang bisa menjelaskan hubungan antara  kemiskinan pada saat anak-anak dengan pendapatan pada saat dewasa, besaran pendapatan seringkali disebut sebagai indikator sebuah kesuksesan seseorang.

Poin pertama, mereka menemukan meskipun anak keluarga miskin memiliki pendidikan dan kemampuan matematika yang setara dengan keluarga non-miskin. Pendapatan anak keluarga miskin saat dewasa tetap lebih rendah dibandingkan dengan keluarga non-miskin.

Jadi pendidikan sepertinya tak bisa menghilangkan kerugian terlahir dari keluarga yang miskin.

@dsuryadarma/twitter.com
@dsuryadarma/twitter.com
Poin kedua, masalah pola pikir atau mindset, meskipun mereka tak  bisa mengukur secara jelas dalam penelitian ini, namun ketika mental stress nya diukur dan dimasukan sebagai pertimbangan, terlihat jelas bahwa tetap saja anak yang lahir dan tinggal dengan keluarga miskin, pendapatannya saat dewasa lebih kecil dibandingkan dengan keluarga non-miskin.

@dsuryadarma/twitter.com
@dsuryadarma/twitter.com
Korelasi yang sama pun terjadi pada poin-poin berikutnya seperti masalah jaringan atau network, kesehatan dan beberapa poin lainnya.

Jelas sekali terlihat bahwa hidup dan terlahir dari keluarga non-miskin  memiliki privilege tersendiri bagi kesuksesan di masa dewasa kelak.

Seolah jika hidup dan terlahir sebagai orang non-miskin setengah kesuksesan telah diraihnya, sedangkan orang miskin yang hidup dalam kubangan kemiskinan seolah kehilangan jembatan untuk menuju sebuah kesuksesan.

Memang ada kasus-kasus yang membuktikan sebaliknya tapi itu hanya kasus-kasus tertentu saja yang jumlahnya hanya segelintir, secara keseluruhan jumlah yang jauh lebih banyak bukan seperti kasus-kasus anomali itu.

Kemiskinan itu seperti glass Ceiling yang membatasi kemumgkinan orang untuk keluar dari lingkaran yang menjerat erat kehidupan mereka.

Butuh effort lebih banyak bagi anak keluarga miskin untuk mencapai sesuatu seperti yang dicapai oleh anak keluarga non-miskin.

Ibarat lari maraton anak keluarga miskin mulai berlari dari 0 kilometer, sementara anak keluarga non-miskin mulai berlari dari kilometer 20. Sulit sekali mengejar mereka, dan kemudian menyamai saat finis.

Untuk itulah Pemerintah harus memberi jembatan agar mereka yang kurang beruntung mampu mengejar kesuksesan yang mungkin dicapai oleh mereka yang lebih beruntung.

Dan jangan lupa motivasi dari dalam diri harus tetap besar meskipun kesulitan membentang di depan mata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun