Kebaikan kecil saja dari penculik, seperti memberi mereka makan atau memperbolehkan mereka buang air, mendorong rasa syukur primitif yang keluar dari pikirannya, seolah penyandera ini malaikat penolong yang penuh kebaikan.
Perasaan primitif yang positif inilah yang kemudian menstimulasi pikiran korban memiliki perasaan positif pada penculiknya.
Kemudian secara psikologis mereka berada dalam posisi penyangkalan bahwa penyandera itulah biang dari kesulitan yang saat itu dialami korban.
Dalam pikiran korban bahkan menganggap sang penyandera itu merupakan pahlawan yang telah menyelamatkan hidupnya.
Hal itu dibuktikan ketika salah seorang sandera dalam perampokan Bank di Stockholm itu diwawancarai oleh The New York Times.
Elisabeth Oldgren salah seorang sandera yang menderita klaustrophobia diperbolehkan keluar dari ruangan yang sangat sempit tempat ia dan 3 rekannya yang lain ditahan, oleh sang perampok.
Ia kemudian mengucapkan hal diluar dugaan, dengan menyebut Jan Erik si perampok tersebut adalah orang yang sangat baik.
Padahal sebenarnya si perampok itulah sumber dari segala kesulitan yang ia alami saat itu.
Namun ternyata, Sindrom Stockholm ini juga tidak hanya berimbas pada si korban, tapi juga terjadi pada si pelaku kejahatan.
Masih mengacu pada kasus perampokan Bank di Stockholm, Jan Erik sang perampok saat awal penyanderaan berniat untuk menghabisi sanderanya.
Tetapi kemudian seiring waktu, setelah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sandera niat itu menjadi hilang sama sekali, dan akhirnya Jan Erik Olsson itu dibekuk oleh Kepolisian Swedia, padahal sebenarnya ia mudah saja melakukannya jika ia mau.