Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sindrom Stockholm, Kala Sandera Bersimpati pada Sang Penculik

31 Mei 2020   17:07 Diperbarui: 31 Mei 2020   17:12 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Blog.psikologinusantara.com

Who's this man that's holding your hand

And talking about your eyes?

Used to sing about being free but now he's changed his mind.

I know they'll be coming to find me soon

But my stockholm syndrome is in your room

Yeah, i feel for you!!

Itu lagu indah yang dinyanyikan oleh salah satu boyband terkenal asal London Inggris, One Direction yang berjudul Stockholm Syndrome.

Stockholm Syndrome yang banyak menjadi referensi bagi para musisi dalam mencipta lagu. Selain One Direction, ada grup band lain yang menggunakan istilah ini, salah satunya adalah The Muse.

Stockholm Syndrome ini sebenarnya bukanlah sebuah kondisi menyenangkan, syndrome ini bisa disebut sebagai gangguan mental yang merupakan respon psikologis dari korban penyanderaan yang merasa simpati, patuh, sukarela, bahkan dalam beberapa kasus jatuh cinta pada sang penyendera.

Istilah psikologis ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang Psikiater sekaligus Kriminolog asal Swedia, Nils Bejerot berdasarkan kasus perampokan bank yang disertai penyanderaan yang terjadi di Ibukota Swedia, Stockholm pada tahun 1973.

Saat itu seorang perampok bernama Jan Erik Olsson merampok Kreditbanken sebuah bank di Stockholm.

Kemudian Perampok itu menyandera 4 orang karyawan bank tersebut selama 6 hari. Ketika korban penyanderaan itu berhasil diselamatkan diketahui bahwa para korban menjalin hubungan yang positif dengan Jan Erik sang penyandera dalam kurun waktu penyenderaan tersebut.

Setelah kejadian itu, frasa Sindrom Stockholm kembali muncul dan kasus inilah yang membuat istilah sindrom dikenal lebih luas dalam dunia kriminal dan psikologi.

Patty Hearst seorang putri pemilik Surat Kabar  di California Amerika Serikat pada tahun 1974 diculik dan disandera oleh kelompok militan revolusioner.

Kemudian dalam perjalanannya Patty berbalik menjadi suka dan bersimpati pada para penculiknya tersebut, bahkan ia lantas bergabung dengan kelompok ini melakukan berbagai perampokan secara sukarela.

Ketika kemudian Patty tertangkap dan diganjar hukuman penjara atas tindakannya tersebut, pengacaranya menyebutkan otak gadis berusia 19 tahun tersebut telah dicuci oleh para penyanderanya.

Ia juga kemudian menjelaskan dalam persidangan tersebut bahwa Patty mengidap Sindrom Stockholm. Nah, setelah kasus ini, frasa Sindrom Stockholm di kenal lebih luas lagi.

Menurut Dr Frank Ochberg, seorang Psikiatet ahli trauma dari The National Institute of Mental Health di Michigan University Amerika Serikat.

Terdapat 4 kriteria seseorang mengidap Sindrom Stockholm. 

Pertama, korban akan mengalami sesuatu yang menakutkan dan tak terduga untuk pertama kalinya, dan mereka yakin akan mati dalam kejadian itu.

Lantas, korban berada pada tahap infantilisasi, sebuah kondisi di mana mereka akan menjadi seperti anak-anak lagi. Tak bisa makan, minum, bergerak, berbicara, hingga buang air tanpa izin dari penculiknya.

Kebaikan kecil saja dari penculik, seperti memberi mereka makan atau memperbolehkan mereka buang air, mendorong rasa syukur primitif yang keluar dari pikirannya, seolah penyandera ini malaikat penolong yang penuh kebaikan.

Perasaan primitif yang positif inilah yang kemudian menstimulasi pikiran korban memiliki perasaan positif pada penculiknya.

Kemudian secara psikologis mereka berada dalam posisi penyangkalan bahwa penyandera itulah biang dari kesulitan yang saat itu dialami korban.

Dalam pikiran korban bahkan menganggap sang penyandera itu merupakan pahlawan yang telah menyelamatkan hidupnya.

Hal itu dibuktikan ketika salah seorang sandera dalam perampokan Bank di Stockholm itu diwawancarai oleh The New York Times.

Elisabeth Oldgren salah seorang sandera yang menderita klaustrophobia diperbolehkan keluar dari ruangan yang sangat sempit tempat ia dan 3 rekannya yang lain ditahan, oleh sang perampok.

Ia kemudian mengucapkan hal diluar dugaan, dengan menyebut Jan Erik si perampok tersebut adalah orang yang sangat baik.

Padahal sebenarnya si perampok itulah sumber dari segala kesulitan yang ia alami saat itu.

Namun ternyata, Sindrom Stockholm ini juga tidak hanya berimbas pada si korban, tapi juga terjadi pada si pelaku kejahatan.

Masih mengacu pada kasus perampokan Bank di Stockholm, Jan Erik sang perampok saat awal penyanderaan berniat untuk menghabisi sanderanya.

Tetapi kemudian seiring waktu, setelah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sandera niat itu menjadi hilang sama sekali, dan akhirnya Jan Erik Olsson itu dibekuk oleh Kepolisian Swedia, padahal sebenarnya ia mudah saja melakukannya jika ia mau.

Namun salah seorang korban penculikan dalam kasus yang lain, Natascha Kampuzch menolak label Sindrom Stockholm.

"Saya merasa itu adalah hal yang wajar jika kita menyesuaikan diri dengan penculik. Apalagi jika menghabiskan banyak waktu bersama mereka. Ini tentang empati dan komunikasi. Mencari normalitas dalam kerangka kejahatan bukanlah sindrom, tapi strategi bertahan hidup," ujarnya.

Mungkin yang diungkapkan Natascha itu benar juga, karena terkadang ketika kita dalam situasi nyawa terancam, secara reflek akan menghadirkan mekanisme pertahanan diri berupa kemampuan yang kita sendiri saja tak pernah tahu mampu melakukannya.

Termasuk di dalamnya bersikap tenang dan seolah kooperatif dengan kondisi yang ada. 

Mungkin, bagi yang ingin mengetahui bagaimana Sindrom Stockholm ini terbentuk, bisa menonton Film lawas yang dibintangi oleh Al Pacino Berjudul "Dog Day Afternoon". Film ini masuk sebagai nominasi Film terbaik dalam ajang Oscar tahun 1975.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun