Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Belajar dari Kasus Konflik Kepentingan Stafsus Presiden, Belva dan Andi Taufan dalam Sistem Birokrasi Indonesia

16 April 2020   18:16 Diperbarui: 16 April 2020   20:47 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Staf Khusus Presiden ramai diperbincangakan belakangan ini. Sebelumnya sudah banyak yang mempertanyakan fungsi dan tugas mereka dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Walaupun tugas dan kewenangan mereka sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 18 ayat 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 39 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden nomor 17 tahun 2012 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden dan Staf Khusus Wakil Presiden.

"Staf Khusus Presiden melaksanakan tugas tertentu yang diberikan Presiden di luar tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi Kementerian dan Instansi Pemerintah lainnya"

Jadi tak ada tugas yang spesifik yang ditugaskan kepada para Staf Khusus milenial yang berjumlah 17 orang tersebut, sepanjang itu perintah Presiden maka mereka wajib mengerjakannya.

Dalam penanganan Covid-19 yang kini menjadi fokus kerja Pemerintahan Jokowi, menurut penuturan salah satu stafsus Billy Mambrasar, seperti dilansir Kumparan.Com adalah membantu Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

"Saat ini kami stafsus milenial ini pun walaupun tidak diketahui banyak orang kami telah duduk dalam Gugus Tugas Penanganan COVID-19. Di mana saya sendiri berkantor hampir setiap hari di BNPB membantu Satgas ini," kata Billy, Rabu (01/04/20).

Tugas inilah yang kemudian menjadi awal dari kegaduhan  dan ramai diperbincangkan oleh masyarakat.

Dua stafsus milenial yang juga merupakan pendiri dan bos perusahaan rintisan, Adamas Belva Syah Devara pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Ruang Guru dan Andi Taufan Garuda Putra Founder yang juga Presiden Direktur PT. Amartha Mikro Fintek. Menjadi sorotan publik karena keduanya disinyalir berada dalam situasi konflik kepentingan saat mereka menjalankan tugasnya.

Adamas Belva Syah Devara dengan start-up Ruang Guru-nya dianggap memiliki konflik kepentingan ketika perusahaan rintisannya tersebut menjadi salah satu mitra pemerintah dalam program Kartu Pra Kerja.

Seperti diketahui, Pemerintah akan menjalankan Kartu Pra Kerja sebagai bagian dari jaring pengaman sosial bagi para pekerja informal dan pekerja formal terkena PHK akibat dampak Pandemi Covid-19.

Kartu Pra Kerja ini akan dibagikan bagi 5,6 juta orang bagi warga Negara Indonesia berusia 18 tahun ke atas dan tidak sedang menempuh pendidikan formal. Diutamakan bagi mereka yang ter PHK karena dampak Covid-19.

Setiap pemilik Kartu Pra Kerja itu akan mendapat pelatihan  senilai  Rp. 1.000.000, di 8 tempat kursus yang ditunjuk pemerintah.

Salah satu mitra pemerintah itu adalah Ruang Guru yang dipimpin dan dimiliki oleh Belvara.

Nah, kemudian, Andi Taufan Garuda Putra pemilik dan pendiri Amartha yang beberapa hari ini ramai diperbincangkan lantaran dirinya mengirimkan surat ber-Kop Sekretariat Kabinet kepada seluruh Camat di Indonesia, yang isinya meminta dukungan dan bantuan dari seluruh aparat untuk membantu kerja PT Amartha miliknya, yang bekerja sama dengan pemerintah dalam penanganan Covid -19.

Meskipun Andi Taufan, kemudian mencabut surat tersebut dan meminta maaf, tapi yah masyarakat sudah dibuat gaduh dan kesal dengan tingkah stafsus ini.

Namun dilain pihak  kegiatan Amartha ini tak melibatkan dana milik negara dan tak menghasilkan keuntungan materi bagi dirinya maupun perusahaannya.

Begitu pun yang terjadi dengan Ruang Guru, kerjasama antara Ruang Guru dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) sebagai operator Kartu Pra Kerja sejatinya sudah terjadi jauh sebelum Belvara di tunjuk menjadi stafsus Presiden dan ia pun tak dalam posisi ikut mengambil keputusan terkait kerjasama tersebut.

Tapi keduanya agak sukar untuk mengelak jika disebutkan ada konflik kepentingan dalam kedua situasi tersebut.

Konflik kepentingan bisa terjadi manakala pejabat publik menemui konflik antara kewajbannya melayani publik dan kepentingan pribadinya, yang dapat memengaruhi secara tidak wajar, tugas dan tanggungjawab publiknya.

Dalam Undang-Undang nomor 30 tentang Administrasi Pemerintahan konflik kepentingan di definisikan sebagai suatu 

"kondisi pejabat pemerintah  yang memiliki kepentingan pribadi  untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam menggunakan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya"

Dan harus diingat,konflik kepentingan itu tak harus melulu terbatas dimaknai keuntungan materi, atau manfaat langsung saat keputusan itu diambil.

Situasi yang berpotensi memengaruhi kinerja pejabat publik di masa yang akan datang  juga masuk dalam pemaknaan konflik kepentingan.

Bentuknya pun tak terbatas pada keuntungan finansial, namun juga melingkupi keuntungan non-finansial seperti informasi program pemerintah, promosi nama perusahaan, penambahan pengguna jasa atau data publik.

Nah itu lah yang biasa disebut intangible asset atau aset tak berwujud yang merupakan nilai terpenting bagi sebuah perusahaan start-up

Atas dasar ini potensi konflik kepentingan dalam masalah Belvara dan Andi Taufan ada dalam bentuk materi maupun non materi.

Meskipun awalnya berniat untuk kepentingan sosial akhirnya tetap saja akan ada keuntungan karena bagaimanapun mereka itu perusahaan komersial.

Pencegahan adanya Konflik kepentingan sebenarnya merupakan bagian dari Good Corporate Governance, bahkan menurut La Ode M Syarif mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut sebagai pintu masuk untuk melakukan korupsi.

Pejabat publik seharusnya sebisa mungkin harus menghindari situasi seperti ini, agar budaya mementingkan kepentingan publik menjadi hal yang paling utama.

Sayangnya aturan tentang konflik kepentingan di Indonesia hanya mengatur pada pengadaan barang dan jasa saja, seharusnya terus diperluas agar ada standar dasar yang membuat pejabat publik tahu batasannya.

Sebenarnya ada upaya yang paling sederhana untuk mencegah konflik kepentingan ini, pejabat publik yang dipilih untuk memegang jabatan publik harus mundur dari berbagai jabatan yang dipegangnya baik itu di perusahaan milik pribadi maupun organisasi lainnya.

Sebenarnya isu konflik kepentingan dalam pemerintahan Jokowi jilid II ini tak hanya terjadi pada dua orang staf khususnya saja. 

Mungkin kita masih ingat ketika Yasonna Laoly melakukan konferensi pers mengatasnamakan PDIP dalam kasus Harun Masiku beberapa waktu lalu.

Akan lebih baik jika kasus dua orang stafsus ini menjadi pembelajaran agar para pejabat publik mundur dari jabatan lain yang di jabatnya, seperti saat Jokowi memimpin Indonesia di periodenya yang pertama.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun