Dan pajak itu masuk ke dalam overhead operasional bioskop, belum lagi biaya karyawan  hingga pemeliharan gedung.
Selain faktor sosial, karena banyak pihak yang mengganggap menonton dibioskop itu lebih banyak mudharatnya di banding manfaatnya, dengan kata lain bioskop masih dianggap sumber maksiat.
Hal ini lah yang kemudian membuat pemerintah daerah mengenakan pajak yang tinggi karena ada faktor negatif eskternalitis.
Karena biasanya  apabila terjadi negatif externalitis biasanya pajak yang dikenakan akan tinggi, seperti rokok misalnya.
Nah jika ditinjau dari sisi tersebut, secara filosopi film dianggap negatif, padahal faktanya saat ini tak seperti itu.
Untungnya saat ini Omnibus Law Perpajakan akan mengubah aturan ini, karena menurut hasil penelitian tersebut pajak bioskop itu yang paling optimal ada dikisaran 10 hingga 15 persen.
Dengan perubahan ini, diharapkan perfilman Indonesia akan mampu mengejar Korsel. Ya, tentu saja tak hanya bioskop saja yang harus ditambah dan struktur perpajakannya diperbaiki.
Namun keseluruhan ekosistem produksinya pun harus mendukung. Pemerintah harus lebih tanggap dalam membantu pengembangan film mulai dari hulu sampai hilir dengan insentif-insentif perpajakan misalnya.
Asal tahu saja jumlah penonton film Indonesia sepanjang 2019 lalu sudah menembus 20 juta penonton.Â
Dan film Indonesia masih mendominasi  film-film boxoffice, film Dilan masih memegang rekor dengan 5,3 juta penonton, disusul Imperfect dengan 2,6 juta penonton.
Dan untuk pasar film boxoffice dunia pada 2019 Indonesia menempati ranking 16 di dunia dengan nilai sekitar US$345 juta atau setara dengan Rp.4,8 triliun.