Sampai saat ini jumlah layar bioskop yang ada di Indonesia menurut data dari Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI) Â sebanyak 1.918 layar. Dengan jumlah bioskop sebanyak 371 sinema.
Jumlah yang sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia  yang 267 juta. Idealnya paling tidak Indonesia memiliki 7000-8000 layar bioskop agar pemasaran film Indonesia menjadi optimal.
Jumlah tersebut pun masih terkonsentrasi di kota besar Pulau Jawa. 77 persen layar bioskop ada di Pulau terpadat di Indonesia ini, sisanya tersebar dari Sumatera hingga Papua.Â
Jika kita amati lebih lanjut bioskop-bioskop itu banyak terkonsentrasi di Ibukota Provinsi saja.Â
Padahal menurut penelitian yang dilakukan Tim Peneliti ekonomi  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Yang presentasi nya sempat saya hadiri langsung, hari Selasa (11/2/20) kemarin di Bank Indonesia.
Film-film Indonesia justru banyak dinikmati dan ditunggu di kota-kota kecil, berbeda dengan ibukota provinsi yang lebih meminati film blockbuster produksi Hollywood.
Mengapa bioskop-bioskop tumbuh sangat lambat di Indonesia, khususnya di kota-kota kecil. Pertama faktor perhitungan ekonomi.Â
Pajak bioskop yang di klasifikasikan sebagai pajak hiburan, di daerah-daerah itu sangat tinggi. Pajak bioskop di Indonesia berada dikisaran 10 persen hingga 35 persen.
Di kota-kota besar rata-rata pajaknya sudah lumayan rendah ada di kisaran 10 persen. Sedangkan di kota-kota kecil bisa di atas 20 persen.
Nah hal inilah yang membuat para penguasaha agak berat berinvestasi bioskop di kota-kota kecil. Karena jika pajak bioskop ini di atas 20 persen pengusaha bioskop angkat tangan, karena pengembalian investasinya sangat lambat dan tak ekonomis.
Karena perhitungan tiket itu misalnya, Rp. 40.000 per lembar tiket, 50 persen dari harga itu masuk ke distributor film. 50 persen lainnya baru masuk ke bioskop.