Mohon tunggu...
Yahya Adiwiranata
Yahya Adiwiranata Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penyalahgunaan Antibiotik Oleh Masyarakat

6 Januari 2025   15:53 Diperbarui: 6 Januari 2025   15:53 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis sedang mengamati keadaan apotek

LATAR BELAKANG

Antibiotik merupakan salah satu inovasi terbesar dalam dunia kesehatan yang ditemukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming, seorang profesor bakteriologi di Rumah Sakit St. Mary, Berdasarkan prediksi Alexander Fleming, penemu antibiotik pada tahun 1945, dia menyatakan bahwa “akan ada waktu dimana Penicillin (antibiotik) bisa dibeli oleh siapa saja dan dapat dibeli ditoko manapun (tanpa resep) (Fleming, 1945:21). Dan saat ini, apa yang diprediksikan oleh Fleming sudah terjadi. Masalah kemudian muncul, apabila semua infeksi sudah resisten maka suatu saat akan ada masa dimana dunia tidak memiliki antibiotik lagi (sudah tidak mempan). Tetapi tidak dapat dipungkiri juga antibiotik juga telah menyelamatkan jutaan jiwa sejak pertama kali ditemukan. Namun, Sekarang banyak ditemukan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan dosis telah ditentukan, hal ini menyebabkan masalah serius, seperti resistensi antimikroba (AMR).

Resistensi antimikroba (AMR) kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, di mana mikroorganisme patogen berkembang menjadi lebih kebal terhadap antibiotik yang seharusnya efektif. Hal ini mengakibatkan penurunan efikasi terapi dan hal ini dapat meningkatnya angka kematian, serta beban ekonomi yang signifikan bagi individu maupun sistem kesehatan.

Di Indonesia, penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum menjadi salah satu faktor utama penyebab resistensi ini. Praktik seperti membeli antibiotik tanpa resep dokter, penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis atau durasinya, serta pemanfaatan antibiotik untuk kondisi yang sebenarnya tidak memerlukannya misalnya flu atau pilek. Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan antibiotik serta kurangnya edukasi yang efektif menjadi salah satu akar masalah yang harus segera diatasi.

Dalam masalah ini, Apoteker memegang peranan kunci sebagai gatekeeper dalam penggunaan obat yang bijak dan rasional. Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keahlian di bidang farmasi, Apoteker bertanggung jawab memastikan bahwa antibiotik hanya digunakan sesuai dengan indikasi medis yang benar. Selain itu, Apoteker juga memiliki peran dalam mengedukasi masyarakat mengenai bahaya resistensi antimikroba (AMR) serta pentingnya mematuhi aturan penggunaan antibiotik.

Meskipun telah ada regulasi yang melarang penjualan antibiotik tanpa resep pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik, namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa pengawasan masih belum optimal. Tantangan ini memerlukan kolaborasi antara Apoteker, pemerintah, dan tenaga kesehatan lainnya untuk memperbaiki sistem pengawasan serta meningkatkan kesadaran masyarakat.

Artikel ini bertujuan untuk membahas peran strategis Apoteker dalam mencegah penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum, mulai dari edukasi masyarakat hingga pengawasan distribusi obat. Dengan pendekatan yang terintegrasi, Apoteker dapat berkontribusi signifikan dalam menekan laju resistensi antimikroba (AMR) dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.


RUMUSAN MASALAH

Instagram
Instagram

Penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum di Indonesia menjadi salah satu masalah kesehatan yang sangat mengkhawatirkan, terutama dengan meningkatnya kasus resistensi antimikroba (AMR). Beberapa faktor, seperti kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya penggunaan antibiotik yang rasional, penjualan antibiotik tanpa resep, serta ketidakpedulian terhadap dampak jangka panjang penyalahgunaan antibiotik, dapat memperburuk situasi ini. Dalam situasi ini, Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang berperan penting dalam penyuluhan penggunaan obat memiliki tanggung jawab besar dalam upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik.

Namun, meskipun Apoteker memiliki peran yang signifikan, berbagai tantangan masih dihadapi dalam menjalankan tugas tersebut. Salah satu masalah utama adalah keterbatasan pengawasan terhadap distribusi antibiotik, baik di tingkat apotek maupun di masyarakat. Selain itu, keberhasilan edukasi yang dilakukan Apoteker sering kali terbatas oleh pemahaman masyarakat yang rendah mengenai bahaya resistensi antibiotik.

 

Rumusan masalah dalam artikel ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja faktor penyebab utama penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum di Indonesia?

2. Sejauh mana regulasi pemerintah terkait distribusi antibiotik tanpa resep dapat mengurangi penyalahgunaan antibiotik oleh masyarakat?

3. Bagaimana efektivitas peran Apoteker dan tenaga kesehatan lainya dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang rasional?

4. Apa tantangan yang dihadapi Apoteker dalam upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik dan bagaimana solusi untuk mengatasinya?

5. Bagaimana kolaborasi antara Apoteker, tenaga kesehatan lainnya, dan pemerintah dapat memperkuat upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik?

Rumusan masalah ini bertujuan untuk menggali peran Apoteker secara lebih mendalam serta faktor-faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan antibiotik di masyarakat.

 
TUJUAN PENULISAN

 

Penulis
Penulis

Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk mengamati secara mendalam peran profesi Apoteker dalam dunia kesehatan, khususnya terkait upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum. Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keahlian di bidang farmasi, Apoteker memiliki tanggung jawab penting dalam memastikan penggunaan obat, termasuk antibiotik, dilakukan secara rasional dan aman. Dengan mempelajari peran Apoteker, artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana profesi ini berkontribusi dalam menekan angka penyalahgunaan antibiotik melalui edukasi, pengawasan distribusi obat, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya.

Penulisan ini juga bertujuan untuk mengkritisi berbagai pihak yang terkait dalam upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik. Salah satu fokus utamanya adalah regulasi pemerintah yang mengatur distribusi antibiotik, termasuk larangan penjualan tanpa resep. Meskipun regulasi ini telah diberlakukan, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya masih kurang efektif. Penulis ingin mengkaji lebih lanjut sejauh mana regulasi tersebut mampu mengurangi angka penyalahgunaan antibiotik oleh masyarakat, serta mengidentifikasi celah-celah dalam pengawasannya yang perlu diperbaiki.

Walaupun pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik, upaya ini perlu diperkuat dengan penerapan SOP ketat bagi distribusi obat, terutama di apotek. Pembelian antibiotik wajib menggunakan resep dokter, dan apotek harus memberikan edukasi yang jelas kepada pembeli mengenai cara pemakaian antibiotik, termasuk pentingnya menghabiskan obat sesuai anjuran. Selain itu, pemerintah harus konsisten dalam menyuarakan bahaya penyalahgunaan antibiotik, misalnya melalui kampanye atau propaganda yang efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Selain itu, artikel ini juga mengkritisi peran tenaga kesehatan, termasuk Apoteker, dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Edukasi tentang bahaya resistensi antibiotik dan pentingnya penggunaan antibiotik yang rasional sering kali belum berjalan optimal. Apoteker, yang berada di garis depan pelayanan kefarmasian, diharapkan mampu memberikan pemahaman yang mendalam kepada masyarakat, baik melalui konsultasi langsung maupun kampanye kesehatan publik. Dalam hal ini, kolaborasi antara apoteker dan tenaga kesehatan lainnya sangat diperlukan untuk menciptakan pendekatan edukasi yang lebih efektif.

Masyarakat juga harus lebih melek dan sadar terhadap bahaya penyalahgunaan antibiotik. Walaupun mereka memperoleh antibiotik dengan resep dokter, kepatuhan terhadap aturan pakai sering kali diabaikan. Banyak kasus di mana masyarakat berhenti mengonsumsi antibiotik ketika merasa sehat, padahal tindakan ini dapat mempercepat resistensi antimikroba (AMR). Dalam banyak kasus, ketidaktaatan ini menjadi pedang bermata dua yang membawa konsekuensi serius bagi kesehatan mereka sendiri. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami bahwa menggunakan antibiotik dengan benar sesuai anjuran dokter dan Apoteker adalah langkah penting untuk melindungi kesehatan mereka dan orang lain.

Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat mengidentifikasi kelemahan dalam sistem regulasi dan praktik pelayanan kesehatan terkait penyalahgunaan antibiotik, sekaligus menawarkan solusi strategis. Dengan pendekatan yang menyeluruh, artikel ini diharapkan mampu memberikan wawasan baru mengenai pentingnya penguatan peran Apoteker dalam sistem kesehatan, terutama dalam konteks pencegahan resistensi antimikroba (AMR) yang menjadi ancaman global. Selain itu, tulisan ini bertujuan untuk mendorong kolaborasi yang lebih baik antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih terintegrasi dan bertanggung jawab.

 
BUKTI RESISTENSI ANTIBIOTIK

Instagram
Instagram

Resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah kesehatan global yang terus menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk tenaga kesehatan, peneliti, dan pemerintah. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri mampu beradaptasi terhadap antibiotik yang sebelumnya efektif membunuh atau menghambat pertumbuhannya. Menurut World Health Organization (WHO), “resistensi antibiotik dapat menyebabkan pengobatan infeksi menjadi tidak efektif, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan kematian”. Fenomena ini didorong oleh beberapa faktor utama, seperti penggunaan antibiotik yang tidak rasional, distribusi antibiotik yang bebas tanpa pengawasan, serta kurangnya edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak.

Di Indonesia, resistensi antibiotik telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa antibiotik seperti amoxicillin, yang merupakan salah satu antibiotik lini pertama, telah mengalami penurunan efektivitas dalam mengatasi infeksi tertentu. Bukti nyata tentang masalah ini diperoleh dari wawancara dengan kakak peneliti sendiri yang berprofesi sebagai dokter hewan, beliau bernama drh. Shinta Putri Quraini yang juga alumni dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Beliau menyatakan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, ia kedatangan pasien hewan peliharaan kucing yang sekarang lebih sulit diobati menggunakan antibiotik. Ia juga mengungkapkan bahwa antibiotik ringan seperti amoxicillin kini kurang efektif dalam menangani infeksi pada pasien hewan.  Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa resistensi antibiotik tidak hanya berdampak pada manusia tetapi juga pada hewan.
Sebagai perbandingan, drh. Shinta Putri Quraini juga menjelaskan bahwa di negara seperti Brunei, peredaran antibiotik sangat terbatas dan diawasi secara ketat. Akibatnya, resistensi antibiotik di negara tersebut relatif rendah dibandingkan Indonesia. Namun, di Indonesia, antibiotik masih diperjualbelikan dengan sangat bebas, terutama di daerah pedesaan, tanpa memerlukan resep dokter. Hasil penelitian yang dilakukan Aziz, F dkk (2022) diketahui 65% (26 dari 40) sampel susu positif uji CMT terisolasi terduga S. aureus. Persentase resistensi pada antibiotik secara berurutan cefixim, ampisilin, oksitetrasiklin, penisilin G, eritromisin, dan oxacillin yaitu 100%, 96%, 61.5%, 38.4%, 23%, dan 2%. Semua S. aureus yang diuji masih 100% peka terhadap ciprofloxacin. Lebih dari 50% susu mastitis subklinis pada penelitian ini mengandung terduga bakteri S. aureus, diketahui mayoritas isolat tersebut menunjukkan telah resistensi terhadap berbagai jenis antibiotik. Monitoring dan evaluasi keberadaan bakteri S. aureus pada susu mastitis subklinis perlu dilakukan untuk mencegah potensi berkembangnya derajat keparahan mastitis dan resistensi antibiotik. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab utama munculnya resistensi antibiotik baik pada manusia maupun hewan. Misalnya, peternak hewan sering memberikan antibiotik tanpa panduan dari dokter hewan, yang akhirnya menyebabkan resistensi antibiotik pada hewan ternak.

 

PENYEBAB RESISTENSI ANTIBIOTIK

 

WhatsApp dengan Drh Shinta
WhatsApp dengan Drh Shinta
Web
Web

Resistensi antibiotik disebabkan oleh mekanisme adaptasi bakteri melalui mutasi genetik. Mekanisme ini memungkinkan bakteri memproduksi enzim yang menghancurkan antibiotik, mengubah target antibiotik, atau mengeluarkan antibiotik dari sel bakteri sebelum zat tersebut dapat bekerja. Dalam skala populasi, penggunaan antibiotik secara berlebihan atau tidak sesuai indikasi menciptakan tekanan seleksi, di mana bakteri yang memiliki gen resistensi bertahan dan berkembang biak.

Pentingnya pengawasan dan edukasi dalam penggunaan antibiotik tidak dapat diabaikan. Berdasarkan literatur, negara-negara dengan regulasi ketat terhadap distribusi antibiotik, seperti yang diterapkan di Brunei, cenderung memiliki tingkat resistensi antibiotik yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian resistensi antibiotik memerlukan pendekatan sistemik yang melibatkan regulasi pemerintah, peran aktif tenaga kesehatan, dan edukasi kepada masyarakat.

 

PERAN APOTEKER TERHADAP RESISTENSI ANTIBIOTIK

 

Dalam hal ini peran apoteker memiliki posisi strategis dalam menekan angka resistensi antibiotik. Apoteker berperan dalam memastikan antibiotik hanya diberikan sesuai resep dokter, memberikan informasi tentang cara penggunaan antibiotik yang benar, serta mengedukasi masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan antibiotik. Kolaborasi antara Apoteker, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya menjadi sangat penting untuk menciptakan sistem kesehatan yang mampu menangani masalah resistensi antibiotik secara efektif.

Dengan melihat masalah resistensi antibiotik, maka diperlukan langkah nyata dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini. Penelitian lebih lanjut, penguatan regulasi, dan pengawasan ketat terhadap distribusi antibiotik merupakan bagian dari upaya yang dapat dilakukan. Edukasi masyarakat juga harus menjadi prioritas untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak demi mencegah ancaman resistensi antibiotik yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun