Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk mengamati secara mendalam peran profesi Apoteker dalam dunia kesehatan, khususnya terkait upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum. Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keahlian di bidang farmasi, Apoteker memiliki tanggung jawab penting dalam memastikan penggunaan obat, termasuk antibiotik, dilakukan secara rasional dan aman. Dengan mempelajari peran Apoteker, artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana profesi ini berkontribusi dalam menekan angka penyalahgunaan antibiotik melalui edukasi, pengawasan distribusi obat, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya.
Penulisan ini juga bertujuan untuk mengkritisi berbagai pihak yang terkait dalam upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik. Salah satu fokus utamanya adalah regulasi pemerintah yang mengatur distribusi antibiotik, termasuk larangan penjualan tanpa resep. Meskipun regulasi ini telah diberlakukan, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya masih kurang efektif. Penulis ingin mengkaji lebih lanjut sejauh mana regulasi tersebut mampu mengurangi angka penyalahgunaan antibiotik oleh masyarakat, serta mengidentifikasi celah-celah dalam pengawasannya yang perlu diperbaiki.
Walaupun pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik, upaya ini perlu diperkuat dengan penerapan SOP ketat bagi distribusi obat, terutama di apotek. Pembelian antibiotik wajib menggunakan resep dokter, dan apotek harus memberikan edukasi yang jelas kepada pembeli mengenai cara pemakaian antibiotik, termasuk pentingnya menghabiskan obat sesuai anjuran. Selain itu, pemerintah harus konsisten dalam menyuarakan bahaya penyalahgunaan antibiotik, misalnya melalui kampanye atau propaganda yang efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Selain itu, artikel ini juga mengkritisi peran tenaga kesehatan, termasuk Apoteker, dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Edukasi tentang bahaya resistensi antibiotik dan pentingnya penggunaan antibiotik yang rasional sering kali belum berjalan optimal. Apoteker, yang berada di garis depan pelayanan kefarmasian, diharapkan mampu memberikan pemahaman yang mendalam kepada masyarakat, baik melalui konsultasi langsung maupun kampanye kesehatan publik. Dalam hal ini, kolaborasi antara apoteker dan tenaga kesehatan lainnya sangat diperlukan untuk menciptakan pendekatan edukasi yang lebih efektif.
Masyarakat juga harus lebih melek dan sadar terhadap bahaya penyalahgunaan antibiotik. Walaupun mereka memperoleh antibiotik dengan resep dokter, kepatuhan terhadap aturan pakai sering kali diabaikan. Banyak kasus di mana masyarakat berhenti mengonsumsi antibiotik ketika merasa sehat, padahal tindakan ini dapat mempercepat resistensi antimikroba (AMR). Dalam banyak kasus, ketidaktaatan ini menjadi pedang bermata dua yang membawa konsekuensi serius bagi kesehatan mereka sendiri. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami bahwa menggunakan antibiotik dengan benar sesuai anjuran dokter dan Apoteker adalah langkah penting untuk melindungi kesehatan mereka dan orang lain.
Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat mengidentifikasi kelemahan dalam sistem regulasi dan praktik pelayanan kesehatan terkait penyalahgunaan antibiotik, sekaligus menawarkan solusi strategis. Dengan pendekatan yang menyeluruh, artikel ini diharapkan mampu memberikan wawasan baru mengenai pentingnya penguatan peran Apoteker dalam sistem kesehatan, terutama dalam konteks pencegahan resistensi antimikroba (AMR) yang menjadi ancaman global. Selain itu, tulisan ini bertujuan untuk mendorong kolaborasi yang lebih baik antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih terintegrasi dan bertanggung jawab.
BUKTI RESISTENSI ANTIBIOTIK
Resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah kesehatan global yang terus menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk tenaga kesehatan, peneliti, dan pemerintah. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri mampu beradaptasi terhadap antibiotik yang sebelumnya efektif membunuh atau menghambat pertumbuhannya. Menurut World Health Organization (WHO), “resistensi antibiotik dapat menyebabkan pengobatan infeksi menjadi tidak efektif, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan kematian”. Fenomena ini didorong oleh beberapa faktor utama, seperti penggunaan antibiotik yang tidak rasional, distribusi antibiotik yang bebas tanpa pengawasan, serta kurangnya edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak.
Di Indonesia, resistensi antibiotik telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa antibiotik seperti amoxicillin, yang merupakan salah satu antibiotik lini pertama, telah mengalami penurunan efektivitas dalam mengatasi infeksi tertentu. Bukti nyata tentang masalah ini diperoleh dari wawancara dengan kakak peneliti sendiri yang berprofesi sebagai dokter hewan, beliau bernama drh. Shinta Putri Quraini yang juga alumni dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Beliau menyatakan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, ia kedatangan pasien hewan peliharaan kucing yang sekarang lebih sulit diobati menggunakan antibiotik. Ia juga mengungkapkan bahwa antibiotik ringan seperti amoxicillin kini kurang efektif dalam menangani infeksi pada pasien hewan. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa resistensi antibiotik tidak hanya berdampak pada manusia tetapi juga pada hewan.
Sebagai perbandingan, drh. Shinta Putri Quraini juga menjelaskan bahwa di negara seperti Brunei, peredaran antibiotik sangat terbatas dan diawasi secara ketat. Akibatnya, resistensi antibiotik di negara tersebut relatif rendah dibandingkan Indonesia. Namun, di Indonesia, antibiotik masih diperjualbelikan dengan sangat bebas, terutama di daerah pedesaan, tanpa memerlukan resep dokter. Hasil penelitian yang dilakukan Aziz, F dkk (2022) diketahui 65% (26 dari 40) sampel susu positif uji CMT terisolasi terduga S. aureus. Persentase resistensi pada antibiotik secara berurutan cefixim, ampisilin, oksitetrasiklin, penisilin G, eritromisin, dan oxacillin yaitu 100%, 96%, 61.5%, 38.4%, 23%, dan 2%. Semua S. aureus yang diuji masih 100% peka terhadap ciprofloxacin. Lebih dari 50% susu mastitis subklinis pada penelitian ini mengandung terduga bakteri S. aureus, diketahui mayoritas isolat tersebut menunjukkan telah resistensi terhadap berbagai jenis antibiotik. Monitoring dan evaluasi keberadaan bakteri S. aureus pada susu mastitis subklinis perlu dilakukan untuk mencegah potensi berkembangnya derajat keparahan mastitis dan resistensi antibiotik. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab utama munculnya resistensi antibiotik baik pada manusia maupun hewan. Misalnya, peternak hewan sering memberikan antibiotik tanpa panduan dari dokter hewan, yang akhirnya menyebabkan resistensi antibiotik pada hewan ternak.
PENYEBAB RESISTENSI ANTIBIOTIK