Dito terdiam, sembari menatap cincin emas di jari Vani. Cincin itu adalah simbol janjinya untuk membahagiakan istrinya. Namun, kebutuhan yang mendesak lebih penting daripada mempertahankan simbol tersebut. Dengan sangat berat hati, Dito akhirnya setuju.
Keesokan harinya, cincin itu terjual, dan uangnya cukup untuk membayar kontrakan serta kebutuhan lainnya. Meski berat, Vani ikhlas. Baginya, cinta dan komitmen mereka lebih berharga daripada sekadar memiliki sebuah cincin.
Menutupi Kesusahan
Saat mendekati hari raya, Vani dan Dito merencanakan mudik ke kampung halaman. Namun, Vani merasa khawatir. Bagaimana jika orang tuanya menyadari bahwa cincin mahar itu sudah terjual?
"Mas, kita beli cincin imitasi saja yuk," usul Vani. Yang penting mereka tidak tahu. Aku tidak mau mereka khawatir."
Dito tersenyum melihat kebijaksanaan istrinya. Mereka pun membeli cincin sederhana seharga puluhan ribu di sebuah toko, bentuknya pun sangat mirip dengan cincin mahar mereka. Meski hanya imitasi, cincin itu menjadi simbol baru perjuangan mereka.
Di kampung halaman, tak seorang pun menyadari bahwa cincin itu hanyalah kamuflase. Orang tua Vani pun merasa tenang melihat putrinya tetap bahagia. Dalam hati, Vani bersyukur karena bisa menjaga perasaan orang tuanya meskipun ia sendiri sedang berjuang keras di perantauan.
Meniti Masa Depan yang Lebih Baik
Tahun-tahun berlalu, perjuangan mereka membuahkan hasil. Usaha Dito mulai berkembang, stabil dan memberikan banyak keuntungan, bahkan hutang-hutang yang selama ini menjadi beban akhirnya lunas. Dito pun memiliki mimpi baru untuk Vani.
Pada suatu malam, ia mengajak Vani berbicara.Â
"Van, aku ingin kamu berhenti bekerja," katanya pelan.Â