Pernikahan adalah awal dari sebuah perjalanan panjang, penuh dengan dinamika, tantangan, dan pembelajaran. Ia bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang kerja sama, keikhlasan, dan perjuangan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Bukan juga hanya tentang menyatukan dua hati, tetapi juga bagaimana menyatukan visi, misi, dan strategi untuk membangun masa depan bersama. Dalam perjalanan ini, mahar memiliki posisi yang sangat penting. Ia bukan sekadar formalitas atau simbol cinta, tetapi juga memiliki fungsi penting yang dapat menjadi penyelamat saat berada di masa-masa sulit.
Oleh karena itu, memilih mahar yang 'bernilai' adalah keputusan tepat. Mahar berupa uang tunai, perhiasan emas, atau logam mulia adalah pilihan bijak. Jenis mahar ini mudah diuangkan jika diperlukan, terutama di saat-saat genting yang kerap menghampiri di awal pernikahan. Sebaliknya, mahar seperti bacaan Al-Qur'an atau hafalan surat, meskipun memiliki nilai spiritual yang tinggi, menurut saya kurang tepat dijadikan mahar. Karena membaca atau menghafal Al-Qur'an adalah bentuk ibadah bagi seorang Muslim, dan sudah seharusnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar dijadikan simbol pernikahan.
Dalam pernikahan, mahar yang 'bernilai' tidak hanya menjadi simbol komitmen suami kepada istri, tetapi juga wujud tanggung jawabnya seorang suami. Bukan tentang seberapa mewahnya, tapi bukan berarti asal ada. Namun, sesuai kemampuan disertai rasa penghargaan kepada pasangan.
Ilustrasi kisah Vani dan Dito berikut semoga mampu mencerahkan tentang pentingnya sebuah mahar yang bernilai. Dimana hadirnya bukan sekedar simbol tapi juga mampu menjadi penolong di saat-saat sulit menapaki rumah tangga.
Awal Perjalanan Pernikahan
Vani dan Dito menikah dengan sederhana. Mahar yang diberikan Dito adalah sebuah cincin emas, hasil dari tabungannya selama beberapa bulan sebelum menikah. Cincin itu sederhana, tetapi memiliki makna yang besar bagi mereka berdua.
Namun, kehidupan pernikahan tidak selalu berjalan mulus. Di awal pernikahan, Vani dan Dito sama-sama bekerja. Dito mencoba mengembangkan usaha kecil-kecilan, sementara Vani bekerja sebagai karyawan di sebuah kantor kecil. Pendapatan mereka digabungkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk melunasi hutang Dito yang masih tersisa sebelum menikah, dan menyewa kontrakan sederhana untuk tempat tinggal.
Takdir pun sering kali menguji di saat yang tidak terduga. Beberapa bulan setelah menikah, usaha Dito mengalami kendala, sementara penghasilan Vani tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan. Saat itu, kontrakan mereka hampir jatuh tempo, dan Dito merasa buntu karena tak lagi memiliki simpanan.
Di tengah kebingungan, Vani mengusulkan sesuatu yang sulit, namun mampu menjadi solusi terbaik saat itu.
"Mas, bagaimana kalau cincin ini kita jual saja? Daripada harus meminjam uang lagi."
Dito terdiam, sembari menatap cincin emas di jari Vani. Cincin itu adalah simbol janjinya untuk membahagiakan istrinya. Namun, kebutuhan yang mendesak lebih penting daripada mempertahankan simbol tersebut. Dengan sangat berat hati, Dito akhirnya setuju.
Keesokan harinya, cincin itu terjual, dan uangnya cukup untuk membayar kontrakan serta kebutuhan lainnya. Meski berat, Vani ikhlas. Baginya, cinta dan komitmen mereka lebih berharga daripada sekadar memiliki sebuah cincin.
Menutupi Kesusahan
Saat mendekati hari raya, Vani dan Dito merencanakan mudik ke kampung halaman. Namun, Vani merasa khawatir. Bagaimana jika orang tuanya menyadari bahwa cincin mahar itu sudah terjual?
"Mas, kita beli cincin imitasi saja yuk," usul Vani. Yang penting mereka tidak tahu. Aku tidak mau mereka khawatir."
Dito tersenyum melihat kebijaksanaan istrinya. Mereka pun membeli cincin sederhana seharga puluhan ribu di sebuah toko, bentuknya pun sangat mirip dengan cincin mahar mereka. Meski hanya imitasi, cincin itu menjadi simbol baru perjuangan mereka.
Di kampung halaman, tak seorang pun menyadari bahwa cincin itu hanyalah kamuflase. Orang tua Vani pun merasa tenang melihat putrinya tetap bahagia. Dalam hati, Vani bersyukur karena bisa menjaga perasaan orang tuanya meskipun ia sendiri sedang berjuang keras di perantauan.
Meniti Masa Depan yang Lebih Baik
Tahun-tahun berlalu, perjuangan mereka membuahkan hasil. Usaha Dito mulai berkembang, stabil dan memberikan banyak keuntungan, bahkan hutang-hutang yang selama ini menjadi beban akhirnya lunas. Dito pun memiliki mimpi baru untuk Vani.
Pada suatu malam, ia mengajak Vani berbicara.Â
"Van, aku ingin kamu berhenti bekerja," katanya pelan.Â
Vani terkejut, "Kenapa, Mas? Aku kan bisa bantu keuangan kita."
Dito tersenyum lembut, "Aku ingin kamu ada di rumah. Saat aku pulang, aku ingin disambut oleh istri yang bahagia, tidak lagi kelelahan setelah bekerja seharian. Rumah ini akan lebih hidup dengan kehadiran ratunya, meskipun istananya masihlah sederhana. Kamu sudah berkorban banyak. Mulai sekarang, aku ingin menjadi pemimpin seutuhnya, memastikan semua kebutuhan terpenuhi, dan bisa lebih baik memuliakanmu, istriku."
Air mata Vani pun seketika jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tahu betapa besar cinta dan penghargaan Dito untuknya, meskipun selama ini jarang sekali diungkapkan dengan kata-kata.
Pelajaran dari Sebuah Perjalanan
Kini, ketika Vani mengenang masa-masa sulit itu, ia merasa bersyukur. Semua pengorbanan yang pernah ia lakukan, termasuk menjual maharnya, terasa begitu indah dan berarti. Dito pun mampu membuktikan bahwa ia adalah suami yang mampu menjadi pemimpin rumah tangga, dan pandai menghargai setiap jerih payah istrinya.
"Dulu, mahar itu menjadi penyelamat kami," katanya kepada seorang teman yang akan menikah. "Tapi yang lebih penting adalah kesadaran untuk terus berjuang bersama, saling mendukung, dan bertawakal kepada Allah. Pernikahan bukan tentang materi semata, tapi bagaimana kita mampu melewati dan menciptakan keberkahan dalam setiap perjalanan."
Di sisi lain, Dito selalu mengingatkan dirinya untuk terus memperbaiki diri. Baginya, kebahagiaan rumah tangga bukan hanya tanggung jawab seorang istri, tetapi tugas bersama untuk saling melengkapi dan memuliakan satu sama lain. Baginya, seorang suami harus mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi keluarganya, baik secara emosional maupun finansial. Dito juga semakin percaya, dengan semua peristiwa yang telah mereka lalui bersama, dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman Vani, Insyaa Allah Vani mampu mengelola keuangan dengan baik dan amanah.
Bahkan saat Vani masih bekerja dulu, ia selalu meminta izin Dito jika ingin membeli sesuatu dan jarang sekali mau membeli sesuatu yang mahal, meskipun itu dari hasil jerih payahnya sendiri. Sikap penuh penghormatan ini membuat Dito semakin menghargai istrinya. "Dia tahu cara menjaga hati dan hak suaminya, bahkan ketika ia memiliki kebebasan untuk tidak melakukannya," pikir Dito. Hal ini membuatnya semakin semangat agar bisa selalu meratukan Vani di rumah mereka, menciptakan suasana yang hangat senantiasa penuh keberkahan.
Dan kini, setiap kali Dito pulang bekerja, ada Vani yang selalu menyambutnya dengan senyum khasnya yang sarat akan cinta, keikhlasan, dan harapan. Sekaligus menjadi pelipur lelahnya setelah bekerja seharian.
Lima tahun pertama pernikahan memang kerap menjadi masa penuh ujian. Banyak tantangan yang harus dihadapi bersama, mulai dari menyesuaikan diri, membangun pondasi ekonomi, hingga mengelola dinamika hubungan. Namun, dengan pertolongan Allah, disertai usaha untuk terus berbenah dan saling mendukung, masa-masa sulit itu bisa berlalu, berganti dengan hari-hari yang lebih indah dan menenangkan.
Setelah menikah, sebaiknya usahakan untuk tinggal terpisah dari orang tua, meskipun itu dalam kondisi serba sederhana. Hidup mandiri bukan hanya melatih kemandirian dan tanggung jawab, tetapi juga menjaga keharmonisan. Pertengkaran kecil dalam rumah tangga adalah hal yang biasa terjadi, tetapi alangkah baiknya jika tidak sampai menjadi beban bagi orang tua. Biarlah setiap masalah dihadapi dan diselesaikan berdua saja, tanpa melibatkan pihak lain kecuali benar-benar diperlukan. Dengan begitu, hubungan dengan orang tua tetap harmonis, dan kalian pun terbiasa untuk menjadi lebih kuat sebagai pasangan.
Pernikahan adalah perjalanan panjang yang penuh pelajaran, bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dijalani dengan keikhlasan dan tekad yang kuat. Jangan pernah takut untuk menikah. Cukup temukan orang yang tepat, yang mau sama-sama berjuang, bertahan, dan tumbuh bersama. Karena di sebalik setiap ujian, ada cinta dan keberkahan yang menanti, jika kita bersedia melewati prosesnya dengan sabar dan tawakal.
Bagaimana dengan pengalaman teman-teman? Bertahan berapa tahun mahar pernikahan kalian? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H