Mohon tunggu...
By
By Mohon Tunggu... Penulis - Merakit jadi cerpenis

Ini adalah aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pria dari Mars

25 Desember 2023   10:18 Diperbarui: 25 Desember 2023   10:31 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara gebrakan meja terdengar lagi, dan lagi-lagi aku hanya bisa meringkuk di dalam kamar sambil menutup telinga, berusaha menghilangkan suara gaduh di luar kamar yang seakan telah menjadi rutinitas setiap waktu. Suara-suara itu telah membuat telingaku kebal, tapi tidak dengan hatiku. Ada retak yang tidak bisa diceritakan, ada luka yang hanya bisa aku pendam sendiri. 

Terlihat dari balik jendela kamar, langit seakan tenang dengan cahaya bintang bertebaran. Berbanding terbalik dengan keadaan di dalam rumahku, kacau, tidak ada ketenangan sedikit pun. Aku jadi penasaran, bagaimana kehidupan di planet atas sana, terutama di Mars. Apakah juga kacau seperti di rumah ini?

Langit telah menjelma menjadi terang, setelah terlelap dengan waktu yang ku rasa sangat kurang, aku dipaksa untuk terbangun lagi. Padahal jika lebih memilih, aku ingin hidup di dalam mimpiku saja. Karena di dalam mimpi itu, aku bisa melihat orang tuaku hidup tanpa kebencian. 

Mereka hidup berdampingan dengan binar cinta dari masing-masing kedua mata mereka. Mereka menyayangiku, memperhatikanku dan memperlakukanku seakan aku porselen yang tak boleh tergores sedikit pun. Tak ada suara gebrakan meja dan suara teriakan yang saling menyahut di rumah itu, aku benar-benar bisa merasakan suasana rumah yang tenang. 

Tapi sayangnya cahaya pagi merenggutnya, dan aku dipaksa kembali ke alam sadar dengan kehidupan yang sangat jauh dari mimpiku. 

Ku gendong tas ranselku, berjalan menjauhi halaman rumah. Setelah pertengkaran tadi malam, tak kulihat batang hidung kedua orang tuaku. Entah mereka masih di dalam kamar masing-masing atau telah pergi sejak pagi buta tadi. Tak ada sarapan di meja makan, bahkan sejak tadi malam mereka tidak mencariku, mereka tak pernah memastikan aku masih bernafas atau tidak. 

Ini adalah bulan ke delapan diriku menjadi gadis SMA, tak ada yang istimewa di sekolah itu. Tapi setidaknya tidak terlalu gaduh dan sengsara untuk ditinggali selama beberapa jam, menjauh dari rumah.

"Hai", seseorang tiba-tiba menyapaku, lelaki perawakan tinggi dengan sepeda dituntunnya, dan berseragam sama denganku.

Dengan mawas diri aku melihatnya, wajahnya sangat asing. 

" Lo anak yang tinggal di rumah nomor 15 ya, gue tadi keliatan lo keluar soalnya".

"Iya", ucapku singkat

"Gue anak baru disini, baru pindahan kemaren siang, di sebelah rumah lo" ucapnya tanpa diminta.

Dan pergi begitu saja?????

Laki-laki aneh mana lagi yang aku temui hari ini, aku bahkan terlalu malas untuk memikirkannya. Dengan tergesa-gesa aku berjalan, kemudian setengah berlari menuju jalan raya, tempat angkutan umum biasa untuk singgah. 

Tidak ada kesempatan memikirkan hal lain, aku harus sampai di depan gerbang sekolah sebelum pukul tujuh dan itu dua puluh menit lagi. 

Waktu semakin dikejar semakin mendekat, tak mau memberikan kesempatan untuk bernafas barang sejenak. Segera kunaiki angkot itu, dan melesat meninggalkan gerbang perumahan dengan satpam yang sedang meneguk secangkir kopi di pos sana. 

***

Aku tahu nama laki-laki itu sekarang. Angkasa namanya, indah bukan? Seindah paras dan kepribadiannya. Masih aku ingat bagaimana ia tiba-tiba muncul di hadapanku pada pagi hari itu, dan yah dia memang seaneh itu. Kehadiran dia yang tiba-tiba, membuat hidupku berubah seketika. 

Jiwaku yang sebelumnya terasa hangus, dalam sekejap terasa hidup kembali. Senyum yang dulu terasa berat tercetak di bibirku, sekarang terasa lebih ringan. 

Meski di dalam rumah suara gaduh selalu saja terdengar, entah apa yang selalu diributkan orang tuaku. Bahkan dari kesalahan kecil saja, bisa menjadi sesuatu yang besar di hadapan mereka. 

Aku tidak bisa meredam dendam yang terasa di antara mereka, karena jiwaku telah terburu terbakar. Sampai kapan mereka akan bertahan? Aku bahkan hampir mati, namun Angkasa menyelamatkanku.

Di depan gerbang rumah, ku dapati Angkasa di sana, tersenyum manis ke arahku. Segera aku berlari kecil ke arahnya. Dengan sepeda yang dikayuhnya kami membelah jalanan, dan aku bertengger manis di belakang punggungnya. 

Berpegangan pada kedua bahunya, aroma parfumnya menguar, dengan lamat-lamat aku hirup aroma itu, berusaha menyimpannya hingga ke alam bawah sadarku. 

Aku berharap bisa selalu mengenalinya bahkan hanya dari aroma parfum yang ia pakai. Hari ini tak ada sekolah, entah kemana Angkasa akan membawaku hari ini. Ia hanya mengajakku, tanpa memberi tahu kemana kita akan pergi. Katanya, "Aku yakin kamu bakal suka", aku hanya mengamini perkataan itu.

Ia memberhentikan sepedanya di depan taman dengan pohon-pohon besar di sekelilingnya. Dengan terheran-heran aku mengikutinya, ia terlihat semakin bersemangat, seakan-akan ia akan memberitahuku sebuah rahasia besar yang telah ia simpan selama sekian abad lamanya.

"Kita mau kemana sih?" tanyaku menjebol rasa penasaran. 

"Sebentar lagi sampe kok" Ucapnya sambil tersenyum.

Ia berhenti di depan satu pohon besar dengan sebuah rumah pohon yang berdiri di atasnya. Siapa yang membangun rumah pohon di atas sana? Terlihat kokoh dan mengisyaratkan ketenangan.

"Disana rumah kita" ucapnya, dan tangannya menunjuk ke rumah pohon itu. 

"Kamu suka, Cendana?" ia menoleh ke arahku.

Aku takjub. 

"Serius? Suka banget" mataku tak berhenti berbinar.

"Kita bisa diem di rumah pohon itu dalam waktu yang lama, dan pulang waktu orang tuamu sudah tidur. Rasakan ketenangan di dalamnya" ia berucap dengan mata tertutup.

Terimakasih" hingga sampai detik ini, aku melihatnya sebagai malaikat penyelamatku.

Mungkinkah dia pria dari Mars yang diutus untuk menjagaku? Tak hanya menjaga, dia juga memperbaiki sesuatu di dalam jiwaku, hingga berkali-kali kurasakan bunga-bunga mekar di dalam sana. 

Hingga aku lupa bagaimana hiruk-pikuk di dalam rumahku, ketika bersamanya. Terlintas saat pertama kali ia menolongku dari suara-suara ribut di dalam rumahku. Ia datang mengetuk jendela kamarku dan memberiku earplugs, katanya alat itu mampu untuk meredam kebisingan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun