Pada tamatnya naungan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, terdapat kenaikan lain atas biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui Undang-Undang Menteri Tenaga dan Sumber Daya Mineral (Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Mineral) Nomor 16 Tahun 2008 dan dilegalkan tepat tanggal 23 Mei 2008 serta akan bisa berjalan pada 24 Mei 2008.Â
Tarif bensin hanya menutup hitungan bulan saja. Selepas separuh tahun pemerintah meminimalkan tarif bensin dan pada 29 Januari 2009 solar menjadi seharga Rp.4.500 per liter (Rakhmawati, 2015).
Tidak gagal hanya sampai di situ, masalah ini kembali berkembang hingga masa transisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden Jokowi Widodo. Setelah kebijakan kenaikan BBM tiga kali di bawah kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kini di pemerintahan Presiden Jokowi Widodo juga telah terulang tiga kali dengan periode yang unik.
Tepat pada 17 November 2014, Presiden Joko Widodo memperkenalkan melambungnya biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga hal ini dapat diterapkan tepat pada 18 November 2014, yang mana premium melonjak naik sebesar Rp.2.000 dari Rp.6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, sementara itu jenis solar naik Rp.2.000 dari Rp.5.500 hingga Rp7.500 per liter (Febriyanti, Rahyuda, 2016).Â
Kebijakan ini dianggap menjadi keputusan pemerintah untuk mempengaruhi kondisi investasi yang ada di Indonesia. Pemerintah melakukan hal ini ditujukan untuk dimanfaatkan secara lebih produktif, seperti halnya kesehatan, pendidikan, hingga peningkatan pembangunan infrastruktur sehingga dapat merepduksi pekerjaan baru untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak berwenang modifikasi biaya minyak ini terlalu esensial.
Presiden Joko Widodo menambahkan pengurangan biaya Bahan Bakar Minyak pada tanggal 16 Januari 2015 sehingga mulai berlaku pada tanggal 19 Januari 2015, dimana biaya premium diubah menjadi berkurang Rp.1.000 dari Rp.7.600 menjadi Rp.6.600 per liter, serta turun Rp.850 untuk jenis solar mulai dari Rp.7.250 menjadi Rp.6.400 per liter (Febriyanti, Rahyuda, 2016).Â
Kebijakan ini terus berlanjut hingga Presiden Jokowi Widodo menetapkan pertalite berupa BBM jenis nonsubsidi menjadi BBM bersubsidi. Namun tiga tahun kemudian besaran harga jenis pertalite pada Bahan Bakar Minyak (BBM) naik sebanyak dua kali dalam tiga tahun terakhir.
Pada saat itu harga pertalite memang sempat turun, akan tetapi turunnya harga ini tidak bertahan sangat lama. Dengan jarak dekat ternyata pemerintah tidak menurunkan harga melainkan menambah menaikkan harga dengan jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berbeda-beda.
Tabel 2. Naik Turun Harga BBM Subsidi Era Jokowi Widodo
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan suatu komoditi harta karunnya Indonesia yang mana hal ini memang menentukan berjalannya perekonomian di Indonesia. Bahan Bakar Minyak (BBM) ini mempunyai peran sungguh hakiki karena seluruh tindakan yang ditunaikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia ini bersangkut paut dengan adanya Bahan Bakar Minyak (BBM), mulai dari ibu rumah tangga hingga suatu perusahaan di bidang jasa dan barang.