Ketakutanku bukan tidak berdasar. China, adalah salah satu negara terbesar dengan kepadatan penduduk tertinggi. Untungnya, mereka sudah sering memakai masker karena tingkat polusi yang juga tinggi di negaranya. Namun, perpindahan individunya tidak dapat dielakkan. Tidak butuh waktu lama sehingga virus tersebut sudah menyebar ke seluruh dunia. Sangat disayangkan, kondisi ini bukan sebuah cerita fiksi.
Masker yang kupakai membawa opini masing-masing teman kerjaku. Ada sebagian dari mereka yang menanyakan apakah sedang sakit, dan mengapa datang apabila sedang sakit. Ketika kujelaskan, kolegaku tertawa melihatku memakai masker ke kantor.Â
"Alah lebay lo, Ren. Beritanya aja masih di luar sana, belom juga terbukti ada penyebarannya," ujar salah satu kolegaku.
"Gapapa ji, paranoid gue. Lebih baik aman deh daripada kenapa-kenapa," jawabku kepada kolegaku tadi.
Aku memang takut sakit. Bukan takut jarum, namun takut ke rumah sakit. Bukan karena kondisinya yang horor, namun lebih karena kita tidak tahu ada berapa banyak penyakit-penyakit menular yang ada di dinding-dinding serta peralatan-peralatan di rumah sakit tersebut.Â
Walaupun sudah dibersihkan oleh petugas-petugasnya, sudah disterilkan pun, aku masih sulit untuk memberanikan diriku datang ke rumah sakit. Apabila terpaksa harus datang, aku akan memakai sarung tangan, masker, dan terkadang kacamata pelindung.
Lima hari yang lalu, aku ditugaskan untuk menghadap ke pimpinan sebuah rumah sakit negeri di Jawa Timur, tepatnya di Surabaya. Aku sudah menyiapkan perlengkapanku sendiri.Â
Terserah kata kolegaku, tapi aku tahu kondisi yang terjadi. Kami berencana untuk menjualkan kepada rumah sakit tersebut suplai alat pelindung diri (APD) yang dibutuhkan oleh rumah sakit tersebut terkait peningkatan penyebaran infeksi virus COVID-19 ini. Aku benar-benar berharap bisa bertemu beliau di luar rumah sakit, namun apa daya, kantor beliau didalam rumah sakit tersebut.
Aku pernah sebelumnya ke rumah sakit ini. Kunjunganku ini bukan kunjungan pertama. Banyak yang berubah, menjadi jauh lebih kelam. Lebih sepi. Tenaga kesehatan yang sebelumnya bergerak memakai jas dokter, atau baju khususnya, sekarang menjadi benar-benar mengamankan diri dengan APD dan baju Hazmat. Dari perjalananku mulai parkiran hingga kantor, aku sudah melihat 3 pasien yang diantar dengan orang-orang yang menggunakan baju Hazmat tersebut.Â
Ketakutanku 2 bulan yang lalu terjadi.Â
Bulu kudukku berdiri, membayangkan kesulitan mereka dalam bernafas. Benar-benar, kita tidak akan pernah tahu harga sebuah objek sampai objek itu tidak ada di sekitar kita.Â