"...Sebaiknya dilakukan isolasi dalam rumah sakit, untuk kebaikan anda dan keluarga."
Kata-kata ini berulang-ulang kubaca melalui aplikasi pesan dari ponsel canggihku. Tidak pernah sepanjang hidupku memikirkan akan mengalaminya sendiri.Â
Bahkan aku tidak memiliki bayangan dalam mengkhayalkan hanya untuk memberikan otakku rutinitas olah-raga kreativitas. Namun memang seperti ini takdir bekerja. Tidak ada yang dapat melawan ketika Tuhan sudah memukulkan palu-Nya.
Berkaca kembali kepada hari-hari sebelumnya, sebagai seorang pekerja yang sering melakukan pertemuan dengan pihak tenaga kesehatan, aku hanya bisa mengagumi kegagahan mereka dalam melaksanakan tugasnya dalam mengobati pasien-pasien yang banyak berdatangan ke rumah sakit.Â
Mengingat pengalamanku bekerja di dalam baju kostum sudah membuatku bergidik. Bahkan aku sempat melepas bagian kepala kostumku untuk menarik nafas seraya beristirahat dari lelahku dalam menghibur pejalan kaki yang lewat, apalagi mereka yang harus melakukannya tanpa boleh melepaskan penutup kepala yang berlapis tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, serangan pandemi Coronavirus-19 (COVID-19) menjadi musibah bagi umat manusia di belahan bagian manapun. Virus ini menyerang negara manapun tanpa terkecuali, negara berkembang maupun negara maju, orang kaya maupun miskin, yang sehat maupun yang sedang sakit.Â
Virus jahat ini lebih kejam daripada virus-virus yang menyerang tubuh biasanya, yang bisa sembuh sendiri karena masyarakat telah dilakukan vaksinasi dan virus sendiri menimbulkan penyakit yang self-limiting setelah beberapa hari pengobatan.Â
Namun, serangan virus ini berbeda. Virus ini tidak hanya menyerang tubuh manusia, melainkan juga menyerang ekonomi negara dan memberikan ketakutan pada manusia.Â
Benar, ketakutan menjadi senjata utama virus ini. Kemampuannya dalam mengakhiri hidup manusia, menyengsarakan sisa hidup pengidap penyakit dengan terpasang alat bantu nafas, dan tidak pandang bulu, menjadikan virus ini dilabeli berbahaya.
Bagaimana tidak, selain penularannya melalui udara/droplet cairan tubuh, virus ini juga sulit untuk dicegah penularannya. Penggunaan masker masih belum bisa sempurna karena banyak yang tidak mempercayai keberadaan virus ini. Oknum-oknum yang bermunculan memberikan opini yang berbeda menggiring masyarakat hingga terpecah dalam penyelesaian penjajahan virus ini.
Aku sudah memperhatikan media massa dalam memberitakan awal virus ini di Wuhan sejak Januari, dimana perkembangan penyakitnya sangat mengerikan dan tampak terlambat dalam karantinanya. Ya, karena keterlambatan itu, aku paranoid bahwa virus itu sudah sampai di Indonesia, namun tidak ada satupun yang mengetahuinya. Sejak membaca artikel tersebut, aku mulai menggunakan masker.