Mohon tunggu...
Febi Wahyudi
Febi Wahyudi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas Di Fiverr

Seorang pecinta Hujan dan Ketenangan, Kini Mengabdikan diri untuk Terus Menorehkan tinta hitam ke dalam selembar kertas, berbagi informasi, Menjadi pemilik dari Blog bertema Jalan-jalan, penulis untuk cerita Horor dan Romansa, terkadang suka Membuat puisi untuk ekspresi diri.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tertidur di Sekolah yang Angker

6 Januari 2023   01:48 Diperbarui: 6 Januari 2023   01:53 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bangunan angker(Pexels.com)

Hari itu sedang mendung, langit sedikit berkabung dan awan menyembunyikan sebagian wajahnya dari kami, sehingga panas terik yang seharusnya membakar kulit menjadi tidak terlalu terasa.

Ibu guru pelajaran terakhir yang seharusnya masuk mendadak tidak bisa datang karena ada urusan di luar jam sekolah, sehingga meninggalkan satu lembar catatan tugas rumah yang harus selesai hari ini dan dikumpulkan keesokan harinya.

Biasanya kalau jam terakhir tidak ada guru, beberapa murid yang nakal akan pulang membolos, melompati pagar yang sudah pernah mereka patahkan kawatnya, kemudian meraih satu cabang pohon dan melompat dengan mudahnya turun ke bawah, aku menghitung beberapa murid yang melakukan hal itu, sekitar 7 murid yang semuanya pergi dengan suka cita, meninggalkan kami yang harus menunggu sampai jam lonceng pulang berbunyi.

Rasa ngantuk semakin agresif aku rasakan, berkali-kali kelopak mataku turun tanpa sengaja dengan kepala yang sudah menurun seperti padi yang sudah menguning, aku menahan kantuk dengan kepala yang sudah berat.

Pergilah aku mencari satu ruang kosong di kelas seperti anak kucing, menggunakan sweaterku aku merangkak mencari satu tempat bersih untuk aku tiduri, anak murid yang semuanya duduk di depan kelas, bernyanyi ceria dan sambil tertawa, aku bergumam sambil berceloteh dalam hati bahwa hujan seperti ini membuatku tidak bisa menahan kantukku terlalu lama lagi.

Tanpa aku sadari bahwa, aku terlelap terlalu dalam, aku tertidur dipojokan bagian belakang  kanan bangku kelas tanpa mereka tahu ada seorang murid yang tidak terlihat tersembunyi oleh tumpukan bangku yang saling menindih.

Hari berganti larut, malam sudah mulai mendatang, aku masih tertidur dengan sambil bergumam dan mengelantur memanggil temanku yang disana, lampu kuning teras sekolah terlihat samar-samar, langit gelap dan kelas yang kosong menghentakan bangunku.

"Dimanakah aku?"aku bangkit dan melihat  arah sekitarku saat itu.

Hempasan nafas kencang kemudian membangkitkanku dari rasa kantuk, aku tersadar bahwa langit sudah tidak terang lagi, aku pergi berlari cepat, mencoba untuk membuka pintu kelas, yang ternyata sudah terkunci.

Berteriak aku dalam kesunyian..

"Tolong....tolong..!"teriakanku tidak mengundang siapapun.

Aku membuka handphoneku yang sudah kehabisan baterai dan jam di tanganku menunjukan pukul 9 malam, gila! Dalam hatiku, bagaimana mungkin aku tertidur hingga jam 9 malam tanpa ada yang tahu.

Aku kembali berteriak, menggedor pintu sekuat mungkin, memanggil sebuah nama yang biasanya kerap aku panggil ketika  ingin membuang sampah.

"Pak Yoni...bukakan pintunya!"

Pak Yoni yang merupakan penjaga sekolah tidak terlihat, aku sendirian!

Aku mencoba mencongkel jendela kelas, menggunakan penggaris besiku, berusaha mematahkan pengaitnya agar aku bisa keluar secepatnya, butuh tenaga ekstra tapi aku tidak sekuat itu, aku mendorongnya, usaha terakhir adalah memecahkan kacanya jika memang diharuskan.

Gerak kaki berjalan pelan terdengar dari ruang sebelah, aku sumringah, itu pasti Pak Yoni..

Aku kembali berteriak!

"Pak Yoni, tolong pak, saya terkunci di sini!"

Pak Yoni tidak merespon, namun suara langkah kaki pelan itu semakin dekat, semakin dekat dan menghilang.

Aku membuka mataku lebar, mencari sumber suara itu, suara yang menghilang begitu saja, aku membuka telingaku...desiran nafas memanggil diriku.

"Ngapain di sini dek?"suara itu berat, pelan dan menusuk jantungku.

Mataku terbelalak, aku tertegun diam dalam lamunan kesurupan, jantungku memompa kencang.

Seorang wanita berseragam SMA, lusuh penuh darah, wajahnya pucat, seakan tidak suka dengan diriku disana, aku tidak bisa berteriak, ketika dia duduk di bangku kelasku, aku melihatnya, tanganku mencengkeram leherku kuat, berusaha untuk bernafas pelan.

Senyumnya bengis, tatapan matanya penuh kebencian, aku semakin gelap, terkulai lemas, dan kemudian tidak sadarkan diri.

Keramaian pagi hari

Jum,at, suasana ramai dan padat murid sekolah, aku tergeletak di dalam kelas dalam kondisi wajah yang panik, satu persatu memutariku, memberikan air minum dan bertanya dengan perlahan.

"Kamu ngapain tidur di sini Tom?"

Angga, temanku yang pertama memanggil namaku, penuh heran dan tanya, mengangkatku ke atas kursi dan mengusap lututku, memanggil guru yang datang dengan tergesa.

"Saya tertidur sampai malam di sini!"

Guruku menatapku, berkata apa aku berbohong? Aku menggelengkan kepalaku, kulihat dia mengeluarkan handphonenya menelepon orang tuaku, meminta agar diriku dijemput.

Suasana panik dan  haru, ketika orang tuaku memelukku erat, mereka mencariku semalaman, karena aku yang tidak bisa menghubungi mereka, sifat diamku menjadi satu alasan mengapa orang tuaku membawa segera pergi, mengeluarkanku dari sekolah dengan cat dinding berwarna biru tersebut.

3 hari kemudian aku kembali masuk sekolah, dengan wajah yang sudah penuh langkah ceria, guru bersedia untuk menutup cerita memalukan itu, bahkan teman kelasku sudah sepakat tidak akan membahasnya lagi.

1 tahun berlalu, aku lulus dari sekolahku, pagi itu aku bertemu Pak Yoni, untuk terakhir kalinya, membicarakan banyak hal terutama kenangan ketika aku masih duduk di bangku sekolah, aku bertanya kepadanya perihal apa yang dulu aku alami, dan mulai dengan satu pertanyaan.

"Siapakah wanita yang menggunakan pakaian SMA penuh darah itu?"

Gugup suara Pak Yoni menghirup asap rokoknya, sebagai orang yang sudah bekerja menjadi petugas sekolah selama 20 tahun, sudah pasti dia tahu cerita itu, mengapa wanita itu duduk di bangku kelasku, mengapa dia ada di sana waktu itu.

Mata Pak Yoni mengawang-awang, seakan sedang berusaha membuka satu ingatan lama, kerutan di wajahnya yang sudah mulai muncul saling bertemu dengan keningnya yang mengeras tanda sedang berpikir. Diseruputnya kopi hitam yang dia seduh 1 jam yang lalu, helaan nafasnya kemudian duduknya mengarah kepadaku.

"Entahlah, bapak sudah lupa, mungkin dia murid kami dulu di sini."

Pak Yoni kembali meminum kopi hitamnya yang mulai dingin, memegang pundakku, terus bersiap untuk kembali bekerja.

"Sampai jumpa ya,"katanya, terus mengambil posisi untuk segera bangkit dari kursinya.

Aku kemudian pulang, melihat ke arah kelasku terakhir kalinya, pulang dan tidak pernah kembali lagi ke sekolah itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun