Perempuan jalang itu masih saja menemuinya tiap hari. Datang kemari tanpa rasa malu. Dan dia tanpa bersalah terlihat bahagia menyambutnya. Mereka seumuran. Sama-sama masih kuliah. Mungkin memang seharusnya dia bersama dengan perempuan seperti itu. Bebas lepas tanpa beban.
Dia bertanya kenapa aku harus bersusah payah menahannya.
“Kau sedang dilanda asmara buta. Tapi tak apa. Semua akan segera berakhir. Aku lah satu-satunya yang pada akhirnya akan jadi perempuanmu” kataku padanya.
“Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi di akhir. Kata akhir terlihat begitu jauh dari anganku. Aku telah lelah untuk berpikir. Penderitaan kita seakan tiada akhir. Dan aku baru sadar, aku terlalu muda untuk hidup seperti ini. Aku tak mau lagi menjadi fakir.”
Hatiku kebas mendengarnya. Aku sepenuh hati menahannya. Mengingat penderitaan yang kami alami bersama, aku merasa pantas berbahagia setelahnya. Berbahagia bersamanya. Namun ternyata dia tak berkeinginan bahagia bersamaku. Hatinya dan tubuhnya tak mau lagi jadi milikku.
Lalu apa yang tersisa kali ini?
Tak ada yang bisa dipertahankan lagi. Mungkin hanya sampai disinilah jodoh kami.
***
Makassar, 4 Oktober 2015
sumber ilustrasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI