Dua garis merah.
Aku hamil. Aku sudah menduga aku hamil sejak bulan terlambat datang. Tapi melihat dua garis merah itu tetap membuatku terkejut.
Aku berusaha untuk tidak panik. Mengabarkan hal itu kepadanya dan memikirkan langkah selanjutnya.
“Ayo kita menikah” katanya terlihat bahagia.
“Aku tak mau melahirkannya” kataku.
Aku memang ingin menikah dengannya. Tapi tidak sekarang. Sekarang bukanlah waktu yang tepat. Apa yang bisa dia lakukan untuk menghidupi kami ? Dia baru menginjak semester dua, sedangkan aku sedang sibuk mengerjakan skripsi.
Ayah, Nenek, dan Tantenya mendukung kami untuk menikah. Ibunya tak tahu menahu. Tak kami beri tahu. Beliau tak menyukaiku. Meskipun banyak dukungan agar kami menikah, tapi aku menolak. Aku bersikukuh untuk tidak melahirkannya.
Aku panutan adik-adikku. Kebanggaan keluargaku. Aku tak ingin mengecewakan mereka.
Berbagai cara aku lakukan untuk melepaskan apa yang menempel di rahimku. Olahraga, jamu tradisional, pijat di dukun spesialis pijat dan juga pil yang bisa dibeli dengan mudah di apotek. Tapi hasilnya nihil. Bahkan kami sempat mendatangi Bidan yang menurut cerita mau membantu. Biayanya cukup mahal namun aku hanya diberi pil saja. Pil kecil berwarna putih sama seperti yang aku beli di apotek. Harga di apotek begitu murah tapi menjadi mahal hanya karena kami datang membawa kendaraan roda empat.
***
Aku menyerah. Perutku semakin membesar. Segala cara aku lakukan tapi hasilnya nol besar.