Mohon tunggu...
Febby Litta
Febby Litta Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dreamer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Kasih Usang

4 Oktober 2015   13:47 Diperbarui: 4 Oktober 2015   13:54 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menerima cintanya dengan sepenuh jiwa. Meskipun dia jauh dari type lelaki idamanku tapi aku rasa aku cinta padanya. Dia tiga tahun lebih muda dari aku. Mahasiswa baru. Sedangkan aku sudah berada di tingkat akhir. Badannya besar dengan tinggi 180 cm. Seperti bodyguard saja. Wajahnya lebih seperti om-om daripada remaja usia 18 tahun. Jadi ketika kami jalan bersama, tidak terlihat bahwa aku lebih tua daripada dia.

Aku yakin beberapa temanku nanti akan mempertanyakan keputusanku. Menkonfontrasi apa yang selama ini aku gembar-gemborkan bahwa pacaran dengan brondong itu pembodohan. Tapi aku bisa menjelaskan. Apa yang aku rasakan dengannya ini nyata, bisa aku jelaskan dengan akal sehat.

Bersamanya aku merasa dicintai dan mencintai.

***

Dia terlihat terkejut melihat bercak merah di sprei.

“Kau masih perawan?” tanyanya tak percaya.

“Menurutmu?”

Senyum mengembang di bibirnya lalu memelukku erat, “Terima kasih. Aku senang menjadi yang pertama. Kau memang wanita sempurna.”

Kami berada di sebuah kamar sewaan. Di sudut kota yang terkenal dingin. Terletak dekat dengan pemandian air panas. Tempat yang biasa digunakan anak-anak muda memadu kasih. Tentu saja dengan harga yang nyaman di kantong. Hanya dengan mengeluarkan uang sebesar 50-100 ribu saja. Setiap orang bisa menggunakan kamar itu semalam suntuk, sepuas hati.

Berkali-kali kami bergelut. Menyalurkan hasrat yang sudah mendidih sampai di ubun-ubun. Hawa dingin pegunungan tak kami rasakan lagi. Keringat membanjiri. Jiwa dan raga bersatu. Panas. Semua memanas. Jiwaku…. Jiwanya…. Tubuhku…. Tubuhnya...

***

Dua garis merah.

Aku hamil. Aku sudah menduga aku hamil sejak bulan terlambat datang. Tapi melihat dua garis merah itu tetap membuatku terkejut.

Aku berusaha untuk tidak panik. Mengabarkan hal itu kepadanya dan memikirkan langkah selanjutnya.

“Ayo kita menikah” katanya terlihat bahagia.

“Aku tak mau melahirkannya” kataku.

Aku memang ingin menikah dengannya. Tapi tidak sekarang. Sekarang bukanlah waktu yang tepat. Apa yang bisa dia lakukan untuk menghidupi kami ? Dia baru menginjak semester dua, sedangkan aku sedang sibuk mengerjakan skripsi.

Ayah, Nenek, dan Tantenya mendukung kami untuk menikah. Ibunya tak tahu menahu. Tak kami beri tahu. Beliau tak menyukaiku. Meskipun banyak dukungan agar kami menikah, tapi aku menolak. Aku bersikukuh untuk tidak melahirkannya.

Aku panutan adik-adikku. Kebanggaan keluargaku. Aku tak ingin mengecewakan mereka.

Berbagai cara aku lakukan untuk melepaskan apa yang menempel di rahimku. Olahraga, jamu tradisional, pijat di dukun spesialis pijat dan juga pil yang bisa dibeli dengan mudah di apotek. Tapi hasilnya nihil. Bahkan kami sempat mendatangi Bidan yang menurut cerita mau membantu. Biayanya cukup mahal namun aku hanya diberi pil saja. Pil kecil berwarna putih sama seperti yang aku beli di apotek. Harga di apotek begitu murah tapi menjadi mahal hanya karena kami datang membawa kendaraan roda empat.

***

Aku menyerah. Perutku semakin membesar. Segala cara aku lakukan tapi hasilnya nol besar.

Kami menikah. Dengan bantuan saudara yang tinggal di desa di pinggiran kota, masing-masing dari kami mendapatkan kartu identitas baru. Kami menikah secara resmi di KUA tetapi dengan identitas baru. Nama tetap sama. Lainnya palsu.

Pernikahan sederhana, hanya disaksikan oleh beberapa teman dekat. Dengan wali nikah pejabat setempat. Orang tuaku maupun orang tuanya tidak ada yang tahu. Tak aku ijinkan mereka tahu. Takut mereka mendapat serangan jantung lalu mati di tempat.

Tak ada perayaan, pun pelaminan. Diijabkan, tanda tangan, lalu pulang. Mudah dan cepat namun tetap menelan biaya yang banyak. Mereka, para pejabat itu tahu benar kelemahan kami. Memanfaatkan apa yang bisa dimanfaatkan. Aku harus berhutang sana-sini dan berbohong pada keluargaku untuk mendapatkan biayanya. Sedangkan dia? Aku tak bisa mengandalkannya.

Entah pernikahan apa ini namanya. Asli atau palsu. Aku tak lagi memikirkannya. Yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana bisa bertahan hidup dan menyiapkan kelahiran anak pertama kami.

***

Aku memanggilnya Kemuning. Ku pandangi wajahnya dalam hening, dia begitu mirip dengan ayahnya. Hidungnya, bibirnya, matanya, rambutnya mirip ayahnya. Hanya kulitnya saja yang sama denganku berwarna kuning.

Persalinan berjalan lancar. Aku masih cukup bugar. Semua kesakitan hilang mendengar tangisnya yang menggelegar. Aku timang dia dengan sayang. Kuciumi sepuas hati karena tiga hari lagi aku harus melepasnya pergi.

Kami sudah menemukan orang tua untuknya. Masih ada hubungan saudara dengan suamiku. Mereka kelihatan baik. Suami istri yang sudah mapan namun belum memiliki keturunan. Mereka bersedia mengadopsi anak kami namun tetap mengijinkan kami menjenguk dan mengetahui perkembangannya. Tentu saja sebagi om dan tantenya.

Menurutku ini yang terbaik. Kemuning akan dibesarkan oleh orang yang tepat. Kami belum sanggup membesarkannya. Hutang semakin menumpuk. Suamiku masih kuliah sedang aku baru lulus belum bekerja.

***

Setengah tahun sudah aku bekerja di Ibu Kota. Kelahiran Kemuning membawa keberuntungan padaku. Aku mendapat pekerjaan 3 bulan setelah melahirkannya. Meskipun harus pergi jauh meninggalkan suamiku, bagiku tak apa. Gajinya lumayan. Dalam dua bulan saja aku bisa melunasi semua hutang-hutangku.

Bulan-bulan pertama, kami berkomunikasi secara intens. Menyalurkan rasa rindu melalui telepon maupun webcam. Namun semakin lama ada yang berubah padanya. Dia semakin sulit dihubungi. Aku merasakan firasat buruk. Hingga aku memutuskan untuk pulang menengoknya.

Firasatku benar, aku menemukannya sedang berpelukan tanpa busana di kamar kami. Aku marah besar. Mencaci maki dan berusaha memukul perempuan jalang itu. Tapi dia mencekal tanganku. Mengunci tubuhku dalam dekapannya. Dan si perempuan melenggang dengan santai memakai pakaiannya “Kau tak pantas marah. Kalau kau istri yang baik tak mungkin dia berselingkuh denganku”.

Kurang ajar…!!!! Sumpah serapah keluar dari mulutku. Berani sekali dia menghinaku.

Perempuan jalang itu hanya tertawa mengejek lalu pergi meninggalkan kami.

Aku menangis histeris. Yang tak aku duga, dia ikut menangis. Ada apa dengannya!? Aku yang hancur!! Aku yang selama ini berjuang untuk kami. Bekerja keras menghidupi kami. Membayar hutang-hutang yang kami tumpuk jauh-jauh hari.

“Sangat berat bagiku jauh darimu. Aku tak lagi punya pegangan. Aku linglung. Jangan salahkan dia. Ini kesalahanku yang tak mampu menahan diri.” ujarnya lirih.

Oh Tuhan. Aku merasa sedang dihukum saat ini. Ya.. memang bukan salahnya. Dia masih muda, tapi bersamaku dia harus melalui hari-hari yang berat. Waktunya dihabiskan hanya denganku dari mulai pacaran sampai setelah melahirkan. Tak lagi ada waktu untuk bergaul dengan teman-temannya. Padahal dia masih sangat muda. Masa dimana seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebaya. Bersenang-senang dan mengeksplorasi dunia.

Ini sepenuhnya salahku.

***

Aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku. Kembali tinggal bersamanya lagi. Mencoba memperbaiki kesalahan yang ada. Aku membebaskan dia untuk bertemu teman-temannya. Menikmati masa mudanya. Dan aku sendiri mencoba menapaki karir di kota ini. Aku mencintainya. Apa yang kami lalui begitu berat. Rasa ini begitu dalam. Tak akan aku biarkan orang lain merebutnya dariku.

Lagi-lagi aku harus sadar diri. Cermin yang sudah retak tak bisa diperbaiki lagi. Apapun yang aku lakukan tak bisa menghilangkan jarak diantara kami. Aku merasa kesepian sendiri. Dia sibuk dengan kehidupan mudanya lagi.

Perempuan jalang itu masih saja menemuinya tiap hari. Datang kemari tanpa rasa malu. Dan dia tanpa bersalah terlihat bahagia menyambutnya. Mereka seumuran. Sama-sama masih kuliah. Mungkin memang seharusnya dia bersama dengan perempuan seperti itu. Bebas lepas tanpa beban.

Dia bertanya kenapa aku harus bersusah payah menahannya.

“Kau sedang dilanda asmara buta. Tapi tak apa. Semua akan segera berakhir. Aku lah satu-satunya yang pada akhirnya akan jadi perempuanmu” kataku padanya.

“Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi di akhir. Kata akhir terlihat begitu jauh dari anganku. Aku telah lelah untuk berpikir. Penderitaan kita seakan tiada akhir. Dan aku baru sadar, aku terlalu muda untuk hidup seperti ini. Aku tak mau lagi menjadi fakir.”

Hatiku kebas mendengarnya. Aku sepenuh hati menahannya. Mengingat penderitaan yang kami alami bersama, aku merasa pantas berbahagia setelahnya. Berbahagia bersamanya. Namun ternyata dia tak berkeinginan bahagia bersamaku. Hatinya dan tubuhnya tak mau lagi jadi milikku.

Lalu apa yang tersisa kali ini?

Tak ada yang bisa dipertahankan lagi. Mungkin hanya sampai disinilah jodoh kami.

***

 Makassar, 4 Oktober 2015

sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun