Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tebal

14 Juli 2017   14:26 Diperbarui: 14 Juli 2017   14:32 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gagah sekali kau di sana kawan!"

Saman mengangkat pandangannya dari buku yang tengah ia baca.

"Hah, Imas. Kau baru tahu?" Saman tergelak ketika mengenali si pemilik suara yang tanpa dipersilakan langsung menggeser pintu pagar dan naik ke teras tempat Saman bersemayam.

"Sejak pulang sekolah jauh, makin intelek saja kau ini." Imas tersenyum.

Pujian intelek dibalas gaya intelek. Tanpa kendali tangannya yang mengusung buku mengedepankan diri.

"Tebal sekali bacaanmu."

"Yah, buku ini menarik, kritis, meskipun ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan pikiranku."

Memang tebal sekali buku yang dibawa Saman. Andai dilempar dan mengenai kepala maling, niscaya pingsan-lah maling itu, tergeletak tak sadarkan diri. Tidak kalah tentunya dengan makan tangan1 anak-anak ronda.

"Aku heran, kau taruh dimana semua yang kau baca. Makin hari bukumu makin tebal saja. Sementara kepalamu besarnya segitu juga," kelakar Imas masih tersenyum.

Memang Saman selalu berkawan buku semenjak pulang sekolah jauh. Kadang Imas berpikir, apakah kadar oksigen diudara belakangan menipis begitu parah, sehingga Saman mesti meracik tambahan oksigen dari buku yang ia bawa kemana-mana. Saman memang tak akan di temukan di palanta lapau, atau bahkan surau. Sesekali memang ia ke mesjid, tapi dari pada bersusah payah, cari saja ia di rumah orang tuanya. Kau akan temukan ia, lengkap dengan buku di tangannya.

"Kau mestilah berteman dengan buku, kawan. Kau boleh di kampung, tapi tiada salahnya kau banyak membaca. Bagus malah kau berkawan buku," Saman jumawa.

"Tampaknya kau benar. Gagah-gagah benar mereka yang ber-buku kemana pergi. Kadang aku iri. Pasti banyak uang orang-orang itu. Buku setebal itu setiap hari berganti saja macamnya. Tentunya tidak murah beli buku macam buku kau itu?" Imas berwujud filsuf.

"Ah, apalah artinya uang dibandingkan dengan ilmu dalam buku-buku ini. Aku bolehlah kurang makan dari pada kurang bacaan," Saman menarik napas dalam-dalam, ditatapnya buku berbahasa asing itu dengan bangga. Sama sekali ia tak menyadari senyuman Imas yang nyaris membelah muka dari telinga ke telinga.

"Itu buku apa yang di tanganmu?" Imas berwujud makhluk penasaran. Karena tidak juga dipersilakan duduk oleh tuan rumah, digesernya-lah sebuah kursi rotan dengan semena-mena, lantas ia duduki.

"Ini Holy War, karya Karen Armstrong. Kau tau Karen Armstrong?" Saman menimbang-nimbang buku di tangan, sama sekali acuh dengan perubahan posisi tubuh Imas.

"Hah, kau ada-ada saja. Aku ini tahunya Mak Polong sekretaris nagari. Dan setahuku dia tidak menulis buku setebal itu." Imas tertawa renyah.

"Ah, kau mesti banyak membaca. Orang ini hebat sekali!" Saman melengos.

"Ya ya," Imas manggut-manggut. "Buku yang kemarin kau baca apa? Rasanya bukan yang ini?"

"Clash of Civilization, Samuel Huntington." Tebas Saman penuh kepuasan.

"Kagum aku, kawan. Bacaan-mu berat-berat semua. Kau pintar tentunya." Imas berwujud makhluk lugu.

"Ah, aku ini hanya ingin belajar dari orang-orang hebat." Saman merendah dengan kaku, masih dengan wajah puas.

"Kau juga akan jadi orang hebat!" kejar Imas. Tangannya menepuk-nepuk bahu Saman yang hanya tersenyum simpul. Dengusan nafas yang mengiringi simpul senyum itu terasa agak sengak.

"Ngomong-ngomong, aku hendak ke surau Angku Balang. Kau hendak ikut?" tanya Imas perlahan. Matanya ke langit. Barangkali yang ia tanya adalah bulan sabit sepenggal akhir Sya'ban yang sedang berebut tahta dengan sekabut awan. Sekilas ia teringat seseorang. Ia tersenyum.

"Ada apa di surau Angku Balang?" sekelabat nada acuh dan sinis menyayat suara Saman.

"Angku Labai mengajar pasambahan2 malam ini." Imas masih berbicara ke langit.

"Oh." Enggan. Suara itu sarat keengganan.

"Ah, sudahlah, kau sudah bisa manitah3 tentunya. Ribuan lembar bahasa Inggris saja selesai kau telan." kelakar Imas. Tangannya terkibas seakan ajakannya tadi adalah wujud ide tergila yang pernah ditelurkan oleh kepalanya.

Saman bergeming.

"Sampai nanti kawan. Tamatkanlah bukumu. Kita bertemu di lapangan saja kalau begitu. Nanti kalau ada orang manjanguak4 atau baralek5, kau datanglah. Ku nanti panitahan6-mu. Nanti kukatakan kepada kawan-kawan di surau kalau aku punya kawan hebat, sarjana lulusan rantau. Pastinya mereka juga ingin mendengarmu manitah di lapangan. Tak seorang pun sarjana di antara kami, kau tahu? Kalau perlu kau selipkan bahasa Barat kau itu nanti, nak segan pula mereka," Imas tergelak mengakhiri petuahnya.

Salman hanya mengangguk, canggung. Entah malam yang mulai dingin, tapi bibirnya terasa susah mengembang. Dilihatnya saja kawan sekampung yang tak pernah mengecap bangku kuliah itu berlalu. Lama setelah sosok tubuh itu hilang di belokan surau, Saman meninggalkan kedudukannya.

*******

"Jadi temanmu yang hebat itu kemana, Mas? Hendak pula kami mendengar suaranya." Keheningan pos ronda disela oleh celetukan Lano. Asap rokok bermunculan dengan gemulai dari segenap lobang di wajahnya.

"Itulah, sudah sekian kali kita manjanguak. Kemarin ketika Ita baralek dia pun tidak muncul. Bukankah kau bilang dia akan manitah?" timpal Roman. Tangannya mencatut sebatang rokok yang bertengger di daun telinga Lano. Lano mendelik.

"Aaah, manalah mungkin kawan hebat-mu itu datang Mas. Mana mungkin dia membaca bukunya di perhelatan. Apalagi di tempat kemalangan." Jon yang meringkuk berselimut kain sarung di sudut pos tergelak.

"Pantas kau tak beranjak dari kampung, buyung! Kau tahu, sarjana itu mesti dipanggil, diundang, kalau tidak mana mungkin datang?" tukas Lano.

"Kalaupun ia datang, jangan kau harap ia ikut manatiang7! Mana mungkin sarjana manatiang?" Roman tak mau kalah. Rokok yang tadi di atas daun telinga Lano sudah berasap-asap di mulutnya.

Gelak tawa memecah keheningan malam. Pos ronda hidup sejadi-jadinya.

Imas diam menatap gulita malam. Hanya sungging senyuman yang ia persembahkan pada kelakar liar yang makin lama makin meraja lela. Ah, habislah daging si Saman dimakan8 oleh gerombolan barau-barau9 ini.

Imas tahu mengapa Saman tidak pernah muncul. Sangat tahu. Yang tak ia ketahui adalah kapan Saman akan muncul. Saman tidak jauh. Ia dan buku-bukunya berada di rumah megah di seberang surau, hanya dua ratus meter dari pos ini. Namun, mungkin saja Saman tidak akan pernah muncul.

Imas juga tahu, andai Saman hendak muncul, ia mesti bertebal muka. Ya, tak peduli setebal apapun buku di tangan, di nagari ini muka Saman hendaklah lebih tebal.

Paninjauan, 1 Juni 2017

1Pukulan

2Rangakaian formal tata bahasa dan tata laksana adat verbal di Ranah Minang, menggunakan bahasa halus yang sarat dengan perumpamaan dan nilai-nilai akhlak dan budaya. Berkebalikan dengan bahasa Pasa(Pasar) yang dipakai keseharian, Pasambahan dan Panitahan semakin terkikis oleh zaman.

3Berbicara dalam bahasa pasambahan.

4Melayat

5Pesta pernikahan.

6Pasambahan

7Menyajikan makanan untuk para tamu

8Digosipkan

9Burung yang tak henti-hentinya berbunyi, biasanya ditemukan di area pesawahan. Sejenis Ruak-Ruak

 

Disclaimer: Seluruh nama/gelar yang diketengahkan di dalam tulisan ini tiada sangkut-pautnya dengan kehidupan nyata.

Cerpen ini juga bisa dibaca di:

TEBAL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun