Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tebal

14 Juli 2017   14:26 Diperbarui: 14 Juli 2017   14:32 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tampaknya kau benar. Gagah-gagah benar mereka yang ber-buku kemana pergi. Kadang aku iri. Pasti banyak uang orang-orang itu. Buku setebal itu setiap hari berganti saja macamnya. Tentunya tidak murah beli buku macam buku kau itu?" Imas berwujud filsuf.

"Ah, apalah artinya uang dibandingkan dengan ilmu dalam buku-buku ini. Aku bolehlah kurang makan dari pada kurang bacaan," Saman menarik napas dalam-dalam, ditatapnya buku berbahasa asing itu dengan bangga. Sama sekali ia tak menyadari senyuman Imas yang nyaris membelah muka dari telinga ke telinga.

"Itu buku apa yang di tanganmu?" Imas berwujud makhluk penasaran. Karena tidak juga dipersilakan duduk oleh tuan rumah, digesernya-lah sebuah kursi rotan dengan semena-mena, lantas ia duduki.

"Ini Holy War, karya Karen Armstrong. Kau tau Karen Armstrong?" Saman menimbang-nimbang buku di tangan, sama sekali acuh dengan perubahan posisi tubuh Imas.

"Hah, kau ada-ada saja. Aku ini tahunya Mak Polong sekretaris nagari. Dan setahuku dia tidak menulis buku setebal itu." Imas tertawa renyah.

"Ah, kau mesti banyak membaca. Orang ini hebat sekali!" Saman melengos.

"Ya ya," Imas manggut-manggut. "Buku yang kemarin kau baca apa? Rasanya bukan yang ini?"

"Clash of Civilization, Samuel Huntington." Tebas Saman penuh kepuasan.

"Kagum aku, kawan. Bacaan-mu berat-berat semua. Kau pintar tentunya." Imas berwujud makhluk lugu.

"Ah, aku ini hanya ingin belajar dari orang-orang hebat." Saman merendah dengan kaku, masih dengan wajah puas.

"Kau juga akan jadi orang hebat!" kejar Imas. Tangannya menepuk-nepuk bahu Saman yang hanya tersenyum simpul. Dengusan nafas yang mengiringi simpul senyum itu terasa agak sengak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun