"Ngomong-ngomong, aku hendak ke surau Angku Balang. Kau hendak ikut?" tanya Imas perlahan. Matanya ke langit. Barangkali yang ia tanya adalah bulan sabit sepenggal akhir Sya'ban yang sedang berebut tahta dengan sekabut awan. Sekilas ia teringat seseorang. Ia tersenyum.
"Ada apa di surau Angku Balang?" sekelabat nada acuh dan sinis menyayat suara Saman.
"Angku Labai mengajar pasambahan2 malam ini." Imas masih berbicara ke langit.
"Oh." Enggan. Suara itu sarat keengganan.
"Ah, sudahlah, kau sudah bisa manitah3 tentunya. Ribuan lembar bahasa Inggris saja selesai kau telan." kelakar Imas. Tangannya terkibas seakan ajakannya tadi adalah wujud ide tergila yang pernah ditelurkan oleh kepalanya.
Saman bergeming.
"Sampai nanti kawan. Tamatkanlah bukumu. Kita bertemu di lapangan saja kalau begitu. Nanti kalau ada orang manjanguak4 atau baralek5, kau datanglah. Ku nanti panitahan6-mu. Nanti kukatakan kepada kawan-kawan di surau kalau aku punya kawan hebat, sarjana lulusan rantau. Pastinya mereka juga ingin mendengarmu manitah di lapangan. Tak seorang pun sarjana di antara kami, kau tahu? Kalau perlu kau selipkan bahasa Barat kau itu nanti, nak segan pula mereka," Imas tergelak mengakhiri petuahnya.
Salman hanya mengangguk, canggung. Entah malam yang mulai dingin, tapi bibirnya terasa susah mengembang. Dilihatnya saja kawan sekampung yang tak pernah mengecap bangku kuliah itu berlalu. Lama setelah sosok tubuh itu hilang di belokan surau, Saman meninggalkan kedudukannya.
*******
"Jadi temanmu yang hebat itu kemana, Mas? Hendak pula kami mendengar suaranya." Keheningan pos ronda disela oleh celetukan Lano. Asap rokok bermunculan dengan gemulai dari segenap lobang di wajahnya.
"Itulah, sudah sekian kali kita manjanguak. Kemarin ketika Ita baralek dia pun tidak muncul. Bukankah kau bilang dia akan manitah?" timpal Roman. Tangannya mencatut sebatang rokok yang bertengger di daun telinga Lano. Lano mendelik.