Mohon tunggu...
Fahrizal A.Z Mursalin
Fahrizal A.Z Mursalin Mohon Tunggu... -

Little boy, who desperately want to make books. Mmm, Like a writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Pukul Sebelas Malam di Brenabue

24 Desember 2013   18:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul Sebelas Malam di Brenabue

Ini sudah pukul sebelas malam.

Bukannya mengurang, di tempat ini orang-orang semakin beramai-ramai datang ketika malam semakin larut. Prinsip hidup yang mereka ketahui adalah semakin malam maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan mereka dapat. Lagpula, disini, malam tidak berbicara tentang selimut atau dongeng-dongeng tengah malam yang dilanturkan sebelum anak-anak merangkak ke tempat tidurnya. Melainkan sebuah kisah dimana mereka yang---mungkin seharusnya---sudah lama menyerah akan kehidupan. Yah, di bar ini, di Brenabue orang-orang yang kalah dan pecundang ada di tempat ini.

Aku meneguk secangkir Shake yang baru saja diletakkan oleh wanita paruh baya di depanku. Aku tidak habis pikir, mengapa wanita seperti dia bisa sampai bekerja di tempat seperti ini. Tempat ini buruk, dan orang-orang yang datang sudah pasti orang-orang yang buruk juga. Tapi wanita ini, aku tidak melihat garis wanita nakal pada wajahnya. Lebih tepatnya, wanita ini seperti seorang ibu yang sedang berusaha menafkahi keluarganya. Seorang janda, mungkin.

“ada lagi yang bisa saya bawakan untuk anda?” ia masih berdiri di sudut meja yang lain, di hadapanku. Dari nada suaranya, cara ia melanyaniku, nampaknya ia sangat menikmati pekerjaannya.

“ini saja, cukup.” Aku meneguk secangkir Shake ku lagi.

“baiklah. Jika ada pesanan lagi, tolong panggil salah satu dari kami.”

Aku sedikit tersedak mendengar suaranya. Suara itu mengingatkanku pada sesuatu yang entah apa selalu aku rindukan. Namun tak kunjung aku dapatkan. Fikiranku seperti kembali pada masa-masa dimana aku selalu dikelilingi oleh mereka yang membutuhkanku. Tapi, ah! Sial. Aku tidak bisa mengingat betul apa yang sedang aku rindukan. “ya, yah tentu. Akan aku panggil. Terimakasih.”

Wanita itu berbalik dan melangkah pergi setelah memerkahkan seyumnya yang lebar.

“tu-tunggu.”

Wanita itu menghentikan langkahnya lalu berbalik kepadaku. Ia mengangkat kedua alisnya, “ada apa?”

Aku terdiam sejenak sebelum anggkat bicara. “wanita sepertimu, ehm, maksudku. Apa yang kau lakukan disini?”

“hmm, aku bekerja.” Jawabnya ringan.

Sial, mengapa aku bertanya seperti ini. Aku tahu ini tidak akan menjadi baik. Jika aku lanjutkan, mungkin saja bisa mengungkit masalah pribadinya. Tetapi aku terlalu penasaran. “tapi, tempat ini,.. aku kira tempat ini tidak,...”

“tidak cocok?” ia memotong. “bukankah itu?”

“ya-yah.” Aku sedikit terbata.

“tak apa, sudah banyak yang berkata seperti itu kepadaku. Aku yakin beberapa dari mereka sudah menganggap aku sebagai wanita yang tidak-tidak.”

“tapi aku tidak. Oleh karena itu aku menanyakannya padamu.” Cetusku dengan cepat.

Wanita itu terdiam sejenak. “terimakasih atas pandanganmu terhadapku, aku hargai itu. Tapi tentang pertanyaanmu. Mungkin aku tidak bisa menjawabnya sekarang.” Ia terseyum.

“baiklah.”

“Merry! Pesanan untukmu! Meja tiga! Cepatlah atau kau dalam masalah!” suara berat. Sepertinya itu panggilan dari staf atau bosnya.

“aku harus pergi.”

“yah, terimakasih.”

Aku terdiam di mejaku. Padanganku tertuju pada secangkir Shake yang setengah terisi di hadapanku. Sejujurnya, aku masih tidak mengerti dengan orang-orang di sini. Dan aku. Iya, aku sendiri tidak mengerti dengan diriku yang tetap datang ketempat ini. Aku sudah tahu ini bukan tempat yang bagus, aku sudah tahu jika aku duduk di dalam sana, maka sebenarnya aku bereda di tengah-tengah mereka yang sering aku sebut tak punya harga diri lagi. Dan berarti aku salah satunya. Tapi entahlah, sekarang aku tidak mengerti mengapa aku berbicara kepada seorang pelayan, seoran wanita, wanita paruhbaya, dan pertanyaan-pertanyaanku tadi. Tidak bisakah aku menarik semua itu? Aku yakin itu sudah merusak pikirannya.

Jika saja seseorang menanyakanku mengapa aku bisa berada di tempat ini, pasti aku tidak akan bisa menjawab sebaik Merry tadi. Mungkin karena alasan Merry bekerja di sini jelas. Tidak denganku yang datang di tempat ini untuk berusaha lari dari rindu yang tak jelas ini.

Ya, aku bisa merasakan itu. Aku sangat rindu pada seseorang, aku selalu membawanya kemimpiku tapi setelah aku tersadar aku tidak mengingatnya lagi. Sedikitpun itu. Yang aku tahu dari rindu hanyalah sesuatu yang menghalang ketika aku dalam suatu kegiatan, jika aku berusaha melupakannya, maka sebenarnya aku hanya berusaha agar rindu itu semakin mendatangiku, sepertinya aku memang hidup untuk merindukan, bukan dirindukan. Dan bodohnya, aku tetap pada rindu yang tidak merindukanku.

Ah, jika saja aku bisa melupakan itu. Yang tidak aku suka ketika aku mulai berusaha menjadi seseorang yang aku rindukan. Sebenarnya aku benci itu.

“kau tahu, seseorang sepertimu yang baru datang ketempat ini. Sebaiknya tidak lancang seperti itu.” Aku mendengar suara, gumam seorang pria yang sepertinya dekat denganku.

Aku menoleh kesekitarku.

“ya, kau, nona. Aku bicara kepadamu.” Oh benar dugaanku, seorang pria tengah berbicara kepadaku.

“ada apa denganmu?”

“oh ayolah. Sadar sedikit, kau sedang mabuk.”

“tidak. Aku sedang tidak mabuk. Kau yang sedang mabuk.”

“baiklah, aku akan mengalah pada seorang wanita cantik.”

Tampangnya pria ini sudah berjam-jam di tempatnya. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan, demi Tuhan masalah apa yang terjadi padanya sehingga ia harus terlihat kacau seperti itu. Aku merasa tak enak berbicara dengannya. Aku berdiri dari mejaku dan bergegas melangkah pergi dari tempat ini. Aku membuka pintu, berjalan menuruni tangga. Mungkin malamku cukup sampai sini saja.

“hey,hey tunggu. Aku hanya ingin berbicara padamu.”

Aku menghentikan langkahku dan berbalik. Oh, pria yang tadi. Ia mengejarku sampai luar. “baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” perlahan-lahan aku mendekat menuju pria itu.

“namaku, John. Aku tahu aku sedang mabuk berat, tapi melihatmu, aku rasa aku akan lebih mabuk lagi. Aku akan mabuk jika aku mabuk melihatmu.”

Aku menahan tawa mendengar perkataannya yang tak jelas itu. “John,.. sebaiknya kau pulang.”

“tidak. Bahkan sebelum aku mengetahui namamu, aku ingin mengajakmu berkencan. Sebuah pesta besok malam, mungkin. Hanya aku dan kau.”

“Jonita.” Aku memotong, “kau bisa memanggilku Nita.”

“yah, Nita. Hanya kita berdua.”

Kami terdiam sejenak, membiarkan udara malam menyapuku dihadapan seorang pria berpostur tegap ini. Tatapannya sangat dalam kepadaku. Sebenarnya aku benci mendapat tatapan seperti itu dari seorang pria. Tetapi, entah apa yang membuatku hangat ketika membalas tatapannya yang halus itu.

“hmm, baiklah, John. Aku terima ajakanmu.” Aku melangkah semakin mendekat kepadanya. “besok, pukul sembilan di tempat ini. Aku mau meja yang dekat dengan jendela. Dan mulai besok, kau harus mengurangi kebiasaan mabukmu di hadapan seorang wanita.”

“baik. Akan aku upayakan. Terimakasih.”

Aku sedikit terseyum dan mengangguk pelan di hadapannya. Aku bisa merasakan deru nafasnya yang mengpas daguku. Dan mungkin mulai dari sini aku akan semakin terbayang-bayang oleh dua buah rindu yang semakin menghantuiku.

---

Sepuluh hari kemudian, pukul sebelas malam.

“ya,ya aku tahu kau menyembunyikannya di belakan kerah bajumu.” Protesku ketika John berusaha memperlihatkan sulapnya menghilangkan sendok dari lengannya. Tapi bagiku terlalu mudah menebak karena gerakan tangannya yang lambat sehingga aku melihat ketika ia menyembunyikannya di balik bajunya.

“tidak. Lihat, tidak ada apa-apa disini.”

“baiklah.”

Ia tertawa seakan-akan puas karena berhasil tentang sulapnya terhadapku.

Hari kesepuluh aku berkencan dengannya. Aku merasa sudah sangat bosan. Ia sama sekali tidak menarik bagiku. Lihat saja jika bukan tentang sulap, ia pasti akan bercerita tentang kenangan masa kecilnya ketika jarinya harus terjepit pintu lift untuk menyelamatkan seeokor anjing yang talinya terkait kedalam lift. Itu membuatku sangat bosan. Tidak adakah bahan pembicaraannya yang lain? Aku tahu itu cerita yang menarik, tapi masalahnya, selama sepuluh hari ini ia terus bercerita tentang itu. Aku bosan, aku harus mengaakhiri ini.

Lagipula, ia bukan lelaki penepat janji seperti yang aku harapkan. Aku sudah menyuruhnya untuk berhenti mabuk sejak pertama kali kita bertemu. Tapi sampai saat ini ia masih melakukannya. Sudah hampir lima gelas ia habiskan malam ini. Dan satu gelas lagi di hadapanku, masih stengah terisi. Aku benci pada pria yang tidak bisa menepati janjinya. Menepati sesuatu yang telah ia katakan sendiri. Apa jadinya nanti aku jika terus bersamanya? Mungkin hari-hariku akan terisi dengan suatu kebohongan yang dilakukannya kepadaku, dan aku tak ingin terbuai karenanya. Yah, mungkin hari-hariku nanti akan terisi dengan setiap omong kosongnya jika aku terus seperti ini. Dan tak akan ada orang yang ingin diperlakukan seperti itu. Terutama seorang wanita.

“John.”

“tidak-tidak Nita, kau tertipu, lihat, aku menyembunyikannya di bawah sini, bukan di belakang kerah bajuku.” Ia tertawa lagi.

“John!”

Ia masih tertawa.

“John! Hentikan! Aku tidak suka jika seperti ini, aku bosan denganmu. Apa kau merasakannya? Benar, kau sama sekali tidak menarik bagiku. Pantas saja ia meninggalkanmu. Karena kau membosankan, John. Tidak kah kau tahu itu? Aku bosan denganmu. Mengapa kau tidak pernah mengerti?”

John terdiam. Beberapa orang yang duduknya berdekatan denganku menoleh kearah kami. Mungkin karena suaraku yang keras tadi.

Raut wajah John berubah. Entah aku mengertikannya sebagai marah atau kecewa. Tapi aku hanya tidak bisa jika terus-terus seperti ini. Aku melihat kearah John yang tengah terdiam di hadapanku sambil memegang sendok yang ia gunakan tadi sebagai sulapnya.

“mengapa kau tidak pernah mengatakannya?”

Aku menyinyirkan dahi. “maksudmu?”

“mengapa kau tidak pernah mengatakan jika kau merasa bosan? Selama ini aku berusaha mencari kesenangan denganmu, tapi aku takut jika aku salah bertindak seperti saat itu. Akhirnya aku mengingat apa yang membuatmu tertawa. Yaitu sulapku.”

“ya, tapi itu saat kau pertama kali memperlihatkannya kepadaku. Sekarang aku sudah bosan.”

“karena kau tak pernah mengatakannya, Nita. Aku pikir kau menyukai sulapku karena kau selalu terseyum. Aku tak tahu kau bosan dengan sulapku. Karena kau selalu terdiam. Apa yang kau harapkan? Aku mengertimu ketika kau terdiam? Baik sekarang aku akan diam selama dua menit. Jika kau tidak tahu apa yang aku inginkan,.. aku akan pergi.”

John benar-benar diam. Tatapannya tajam kearahku. Aku seperti tidak mengenali dirinya lagi. “John.”

Ia masih diam. Sial, apa yang aku lakukan. Ini sangat sulit.

“John. Aku mohon.”  Ia masih menatapku dengan tajamnya.

“John, maafkan aku.”

John menarik nafas panjang lalu menghempasnya. “waktumu habis. Aku pergi.”

“John tunggu. Maafkan aku mengatakan itu. Aku sungguh menyesal.”

“kau tahu apa yang aku harapkan ketika aku diam?”

“apa, John?”

“sampai kapan kau akan merahasiakan tentang rindumu itu?”

Aku terdiam. John berlalu. Langkahnya sangat gontai akibat terlalu banyak minum hari ini. Sekarang,entah apa yang aku rasakan. Aku merasa, sikapku tadi tak perlu aku lakukan. Tapi, yah, sudahlah. Semuanya sudah terjadi.

Berjam-jam aku duduk merenungkan apa yang baru saja terjadi kepadaku. Sepuluh hari yang lalu aku sudah berhasil melupakan kerinduanku yang menyiksa itu karena John. Tapi sekarang, semuanya kembali merasuki fikiranku ketika aku merasa seorang diri lagi. Aku baru merasakan kehadiran John ketika ia meninggalkanku. Entah mengapa semua ini bisa terjadi padaku.

“John orang yang baik.” Seorang dari meja sebelahku bersuara. Aku memerhatikan. Oh, itu Merry. Seorang pelayan yang hari itu aku sapa. Ia sibuk merapihkan gelas-gelas kotor di sana.

“ya, dia tampan.” Gumamku sambil memainkan sebuah sendok di depanku.

Merry mendesis, aku mendengarnya. “mengapa kau melakukan itu?” ia menaruh sebuah ember kecil yang berisi beberapa gelas kotor di mejaku, lalu duduk di hadapanku.

“entah, aku terbawa suasana.” Aku memerhatikan beberapa orang yang berjalan keluar dari tempat ini.

“bukan itu. Mengapa kau mengenakan itu?” ia menunjuk rambutku. “aku tahu itu tidak seharusnya berada di sana.”

Aku tersentak. Bagaimana ia bisa tahu? “kau tahu?” aku melihat keekitar. Sepertinya sudah mulai sepi.

“tentu saja. Aku sedang tidak mabuk. Jadi aku tahu jika kau bukan,..”

“aku melakukannya karena, aku tidak ingin kehilangan dirinya.” ucapku sambil menyingkah rambut yang berada di atas kepalaku lalu menaruhnya di atas meja.

“aku tahu hidup memang tidak adil. Mungkin kau harus menrima semuanya, rasa sakit itu terutama.” Ia memberiku sebuah kain bersih. “gunakan ini untuk membersihkan wajahmu.” Aku meraihnya dengan ragu. “tapi mengubah dirimu, sepertinya bukan pilihannya.”

Aku melihat Merry mengisaratkan agar aku segera membirsihkan wajahku dengan kain yang baru saja ia berikan. Perlahan-lahan aku mulai meraba wajahku dengan kain tersebut. Aku merasa semuanya terangkat, menempel pada kain itu. “aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan.” Aku meletakkan kain itu di atas meja juga, penuh dengan warna. Aku melihat ke sekitar sekali lagi, memastikan agar tak ada satupun orang yang melihatku.

“tentu saja kau tahu.” Merry terseyum padaku. “ohiya. Aku sepertinya punya janji  bercerita denganmu. Ini sedang jam istirahat. Sepertinya, aku bisa bercerita sekarang.”

Aku menatapnya. Iya, benar. Hari itu ia berkata akan menceritakannya suatu saat nanti kepadaku. Yah, aku masih penasaran dengannya. “oh, tentu. Terimakasih kau masih mengingatnya. Aku masih penasaran.”

“baiklah seperti ini.” musik-musik mulai berdengung dengan merdu di setiap sudut ruangan ini. “suamiku. Aku memiliki seorang anak perempuan. Keluarga kami dulunya yang terindah yang pernah aku rasakan. Aku selalu menceritakan kisah-kisah kepadanya setiap malam sebelum ia tertidur. Ya, dia suka dengan cerita. Terutama jika aku yang menceritakannya.” Ia berhenti untuk menarik nafas sejenak.

Aku menyimak sambil terus menatap kain dan rambut palsu yang ada di hadapanku.

“sementara suamiku. Ia selalu mengamatiku jika aku sedang asik bercerita untuk Hana. Terkadang ia menaruh perekam suara secara sembunyi-sembunyi untuk merekam suaraku dan menertawakannya. Tapi aku tidak perduli. Aku bisa menghapusnya nanti ketika ia pergi kerja atau sedang tertidur.”

Aku masih menyimak.

“kami sering berakhir pekan di pantai. Hana menyukai pantai karena baginya, hanya di pantai ia bisa dekat dengan langit. Terutama yang sering ia katakan padaku tentang kaki langit. Ia sangat ingin kesana. ‘ibu dan ayah akan mengantarkanmu suatu saat kesana. Bersabarlah dan nikmati dulu kehdupamu saat ini’ aku sudah berjanji padanya. Ya, aku tahu aku salah.”

“salah karena apa? Kau hanya berjanji padanya.”

“suatu hari, kala itu kami---aku dan Hana---sedang sangat lelah. Selepas aku bercerita, aku tertidur bersamanya di kamar Hana. Di situlah letak ke salahanku.”

Aku menyinyirkan dahi. Menunggu Merry melanjutkan ceritanya.

“ketika aku tertidur. Sesuatu terjadi pada rumahku. Semuanya terbakar, lemari, baju-baju, kertas-kertas gambar milik Hana semuanya ludes terbakar. Aku baru tersadar dari tidur kuketka api sudah membakar sekitarku.” Ia menahan nafas sejenak. “aku berusaha mencari jalan keluar sambil terus berteriak meminta pertolongan dari siapapun yang mendengar jeritanku. Sesaat kemudian seorang pira datang membus api-api itu. Ya, dia suamiku. Aku katakan padanya, ‘Hana di dalam. Kau harus menyelamatkannya sekarang.’ Tapi ia tak mendengarku, katanya sudah tidak ada waktu lagi sehingga dia hanya menarikku keluar dari rumah yang sudah terbakar itu.” Ia terdiam cukup lama.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Rasanya, aku menyesal sudah menyuruhnya bercerita.

“Hana tewas terbakar, tak ada yang tersisa lagi darinya. Aku meningkar janjiku yan akan mengantarnya menuju kaki lagit. Ia pergi seorang diri.”

“bagaimana dengan suamimu?”

“aku menyuruhnya pergi. Pertengkaran yang hebat terjadi di antara kami. Aku berkata padanya, ‘aku lebih suka jika mati bersamanya ketimabang aku harus hidup tanpanya’ ia katakan, ‘kau masih punya aku yang bisa menemani sisa hidupmu.’ Aku katakan lagi, ‘aku tak ingin melihatmu lagi. Sebaiknya kau pergi dari hidupku. Dan jangan pernah datang lagi.’ Mungkin saat itu aku sedang tak terkendali. “

“aku menyesal telah menyuruhmu bercerita.”

“tak apa. Akhirnya aku bisa melepas seluruh yang menahan dalam dirku.”

“suamimu. Maksudku. Kau sudah tidak pernah bertemu lagi?”

“ya, tak pernah lagi.” Ia tertahan. “setelah beberapa hari yang lalu, ketika kau datang dengan seorang pria untuk berkencan.”

Apa? Oh tidak. “mak-maksudmu,..” aku terbata.

“ya, John.”

“oh Merry. Aku tidak bermaksud untuk,..”

“tak apa, aku sudah bisa melepasnya. Aku sadar akan satu hal, mungkin beberapa memang tak perlu terselesaikan dengan baik. Dan lagi, ia pergi karena salahku. Karena aku yang menyuruhnya. Sekarang, aku bisa apa?”

“aku bisa membantumu. Aku bisa berbicara dengannya tentangmu. Percaya padaku.”

“tak perlu. Ia tak akan mengenalmu tanpa itu semua.” Ia menunjuk rambut palsu dan beberapa bercak make up di kain yang Merry berikan kepadaku tadi. “Joni, ia tak akan mengenalmu sebagai seorang pria.”

Ya, aku tahu semua itu. Aku bodoh untuk berusaha mempertahankan sesuatu yang aku rasakan dengan diriku. “aku tak pernah melihatnya. Sejak aku lahir, aku hanya ingn merasakan bagaimana kasih sayang darinya. Banyak temanku mengatakan, bahwa semua itu sangat nyaman. Aku hanya ingin memiliki seorang ibu.”

Sepertinya benar jika rindu membutakan. Sebab aku hanya seorang pria yang sedang merindukan ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun