John benar-benar diam. Tatapannya tajam kearahku. Aku seperti tidak mengenali dirinya lagi. “John.”
Ia masih diam. Sial, apa yang aku lakukan. Ini sangat sulit.
“John. Aku mohon.” Ia masih menatapku dengan tajamnya.
“John, maafkan aku.”
John menarik nafas panjang lalu menghempasnya. “waktumu habis. Aku pergi.”
“John tunggu. Maafkan aku mengatakan itu. Aku sungguh menyesal.”
“kau tahu apa yang aku harapkan ketika aku diam?”
“apa, John?”
“sampai kapan kau akan merahasiakan tentang rindumu itu?”
Aku terdiam. John berlalu. Langkahnya sangat gontai akibat terlalu banyak minum hari ini. Sekarang,entah apa yang aku rasakan. Aku merasa, sikapku tadi tak perlu aku lakukan. Tapi, yah, sudahlah. Semuanya sudah terjadi.
Berjam-jam aku duduk merenungkan apa yang baru saja terjadi kepadaku. Sepuluh hari yang lalu aku sudah berhasil melupakan kerinduanku yang menyiksa itu karena John. Tapi sekarang, semuanya kembali merasuki fikiranku ketika aku merasa seorang diri lagi. Aku baru merasakan kehadiran John ketika ia meninggalkanku. Entah mengapa semua ini bisa terjadi padaku.