“John orang yang baik.” Seorang dari meja sebelahku bersuara. Aku memerhatikan. Oh, itu Merry. Seorang pelayan yang hari itu aku sapa. Ia sibuk merapihkan gelas-gelas kotor di sana.
“ya, dia tampan.” Gumamku sambil memainkan sebuah sendok di depanku.
Merry mendesis, aku mendengarnya. “mengapa kau melakukan itu?” ia menaruh sebuah ember kecil yang berisi beberapa gelas kotor di mejaku, lalu duduk di hadapanku.
“entah, aku terbawa suasana.” Aku memerhatikan beberapa orang yang berjalan keluar dari tempat ini.
“bukan itu. Mengapa kau mengenakan itu?” ia menunjuk rambutku. “aku tahu itu tidak seharusnya berada di sana.”
Aku tersentak. Bagaimana ia bisa tahu? “kau tahu?” aku melihat keekitar. Sepertinya sudah mulai sepi.
“tentu saja. Aku sedang tidak mabuk. Jadi aku tahu jika kau bukan,..”
“aku melakukannya karena, aku tidak ingin kehilangan dirinya.” ucapku sambil menyingkah rambut yang berada di atas kepalaku lalu menaruhnya di atas meja.
“aku tahu hidup memang tidak adil. Mungkin kau harus menrima semuanya, rasa sakit itu terutama.” Ia memberiku sebuah kain bersih. “gunakan ini untuk membersihkan wajahmu.” Aku meraihnya dengan ragu. “tapi mengubah dirimu, sepertinya bukan pilihannya.”
Aku melihat Merry mengisaratkan agar aku segera membirsihkan wajahku dengan kain yang baru saja ia berikan. Perlahan-lahan aku mulai meraba wajahku dengan kain tersebut. Aku merasa semuanya terangkat, menempel pada kain itu. “aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan.” Aku meletakkan kain itu di atas meja juga, penuh dengan warna. Aku melihat ke sekitar sekali lagi, memastikan agar tak ada satupun orang yang melihatku.
“tentu saja kau tahu.” Merry terseyum padaku. “ohiya. Aku sepertinya punya janji bercerita denganmu. Ini sedang jam istirahat. Sepertinya, aku bisa bercerita sekarang.”