***
Maya harus menghadapi ujian praktikum yang menentukan kelulusannya. Ia telah belajar mati-matian, namun rasa takut dan cemas menguasai dirinya. Jari-jarinya gemetar saat ia memegang jarum suntik, keringat dingin membasahi telapak tangannya.
"Tenang, Maya, kamu pasti bisa," bisiknya dalam hati, berusaha menenangkan diri.
Namun, saat ia mulai melakukan prosedur, tangannya tiba-tiba bergerak tak terkendali. Jarum suntik meleset, cairan anestesi tumpah, dan pasien mengerang kesakitan. Maya merasa dunia meledak di sekelilingnya. Ia telah gagal, gagal total.
"Cukup, Maya!" suara dr. Indra terdengar tegas. "Kamu boleh keluar."
Maya melangkah keluar dari ruang praktikum, air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa malu, kecewa, dan putus asa. Semua mimpinya, semua harapannya, hancur berkeping-keping.
Maya berlari ke ruangannya. Menguncinya. Ia menatap kosong ke arah dinding. Ruangan tenang yang meredam bunyi dari hiruk-pikuk di luar, kini tak lagi bersahabat. Ruangan ini menghimpitnya.
"Aku tidak bisa lagi," bisiknya, suaranya tercekat oleh isak tangis. "Aku tidak mampu."
Di atas mejanya, terdapat selembar kertas dan pena. Dengan tangan gemetar, Maya mulai menulis surat perpisahan.
Di ruangan lengang yang menghimpit dan meledakkan jiwaku ini, aku menulis surat ini dengan hati yang berat dan air mata yang terus mengalir.
Bila mengingat mimpi-mimpiku ingin menjadi dokter, ingin menyembuhkan orang, ingin membawa senyum di wajah mereka yang sakit, makin menjadi ingatan yang mencabit-cabitku. Jalan menggapai mimpi begitu berat. Seperti harus menyelam begitu dalam kelautan sementara jiwaku tak mampu lagi. Aku hancur berkeping-keping meskipun sekuat apapun aku berusaha kuat.
Aku telah berusaha, sungguh, aku berusaha sekuat tenaga. Tapi semakin aku berusaha, semakin aku merasa terhimpit. Tekanan, ekspektasi, dan rasa takut akan kegagalan bersatu-padu menghimpit jiwaku. Aku tak bisa bernapas, sesak, Â meledak sudah.