Hari-hari Maya berjalan dalam siklus yang monoton dan melelahkan. Alarmnya berdering sebelum fajar menyingsing, membangunkannya dari tidur yang selalu terasa terlalu singkat. Ia bergegas mandi, sarapan seadanya, lalu melesat ke rumah sakit, seolah berpacu dengan waktu yang tak pernah berpihak padanya.
"Maya, kamu sudah baca jurnal terbaru tentang teknik anestesi regional?" tanya dr. Indra, salah satu dosen pembimbingnya, saat tiba di rumah sakit.
Maya mengangguk cepat, berusaha menyembunyikan kepanikannya. "Sudah, Dok. Saya sudah baca tadi malam."
"Bagus," dr. Indra tersenyum tipis. "Nanti saya tanya beberapa poin pentingnya saat visite."
Maya hanya bisa tersenyum kaku sebagai jawaban. "Tadi malam?" batinnya menjerit. "Tadi malam aku bahkan enggak sempat memejamkan mata!"
Rutinitas Maya yang berputar tanpa henti sangat dirasakan menggerogoti kekuatannya. Kuliah pagi, praktikum siang, jaga malam, pulang dini hari, lalu belajar hingga jelang shubuh. Tidur sejam dua jam tanpa pernah lelap.
Ia selalu menanamkan kesadaran dalam diri untuk tetap kuat. Â Menjalani tugas dan mempelajari ilmu yang diberikan. Namun, belakangan otaknya seperti komputer yang bervirus. Kata-kata dan diagram-diagram anatomi saat dicoba serap ke otaknya, bercampur-aduk, melayang-layang, dan membentuk kabut tebal yang menghalangi jalan menuju pemahaman.
"Maya, kamu kenapa akhir-akhir ini sering melamun?" tegur dr. Anita, seorang senior yang Maya kagumi.
Maya tersentak, pipinya merona merah padam. "Maaf, Dok. Saya hanya sedikit lelah."
Dr. Anita menatapnya dengan tajam, seolah bisa membaca isi hatinya. "Kamu harus kuat.
Gak mudah menjadi dokter spesialis. Kuat-kuatin dirimu."
Maya mengangguk, namun kata-kata dr. Anita hanya lewat begitu saja di telinganya. Ia merasakan diri terus melemah. Semua wejangan tidak bisa menguatkannya. Malah yang datang menyelusup kesadarannya adalah kelemahan; rasa takut akan kegagalan yang merong-rong batinnya. Ia selalu melawan itu. Ia  tidak ingin mengecewakan orang-orang yang percaya padanya, terutama orang tuanya.