Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namaku Ribut Pribumi

2 April 2017   16:06 Diperbarui: 4 April 2017   15:15 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Negeri kita kaya, SDA melimpah. Tapi gak kegarap. Kenapa tau? Gregetan lho negara-negara lain. Mau garap, tapi tak boleh. Pribumi garap sendiri, gak bisa. Coba pikir, kenapa kenapa kenapa? Jangan salahin dan terancam sama Asing yang mau garap itu.

"Asing ada modal dan skill, mau garap itu. Banyak negeri Asing ada modal dan skill, apa tak mau garap atau tak dibolehin? Coba situ pikir? Gak boleh garap atau tak mau garap?

"Gak tahu, urusan pemerintah." Sahut Ribut Pribumi pusing.

"Kita ngaku aja deh gak bisa garap tanpa kerjasama. Gak bisa kalo gak ada modal, skil, dan mental bersaing. Mereka punya itu kan. Bukan memuja, tapi bicara fakta. Mereka ke mari cuma kepentingan ekonomi. Ojo mikir macem-macem sama Asing ini. Apalagi mikir mau dijadiin komunis. Itu isu dihembus sama pesaing mereka. Tahu gak sih Ribut Pribumi soal persaingan ekonomi dan kekuatan? Isu komunis dihembus biar gak jadi garap punya lahan kita. Maunya pesaing itu yang garap. Siapa pesaing itu? Mikir sendiri, deh.

"Gini kukasih penenang. Kasian kuliat kamu, Ribut Pribumi. Jadi, kita kamu, minta perkuat parlemen. Di sanalah masalah muaranya. Kalau kuat parlemen kita, bisa kontrol, kawal, awasi kerjasama dengan Asing sesuai komitmen dan keuntungan bersama.

"Ingat ya Ribut Pribumi, keuntungan sesuai usaha dan kemampuan. Jangan minta lebih kalo modal dengkul doang. Malulah sama dirimu. Ingat rezeki sudah diatur, beban diberi sesuai kemampuan, so jangan cemas akut sama Asing. Itu menandakan diri kita lemah banget. Slow aja gitu. Rangkul, sohiban gitu lho.

"Kekuatan kita di parlemen, mengatur, mengawal, mengawasi, biar Asing ini gak melenceng dari kerjasama yang telah dibuat. Tapi kalo parlemen kita tak berintegritas, tak jujur, siap aja deh Asing pun bisa melawan dan beradaptasi menghadapi situasi kecurangan itu. Asing ini punya pengalaman sejarah paling jago beradaptasi dengan polah manusia dan alam.

"Tips udah. Ceramah udah. Kamu, Ribut Pribumi, mau ribut, ributlah. Rugi kamu sendiri. Si Asing paling rugi waktu. Duit gampang mereka cari lagi. Ada yang modali. Arab. Heuheuheu."

Campur aduk perasaan Ribut Pribumi. Geram, tak berdaya, terhina, perasaan lemah, dan benci tapi berharap. Benci pun kini gak ke Asing tapi ke parlemen yang telah menjadi area lahitnya tikus-tikus yang menggerogoti uang, kekuasaan, dan kebijakan yang menyulitkan rakyat. Ribut Pribumi benci tapi masih berharap sama parlemen. Benci tapi berharap. Harus benci ke mana lagi yang tepat?

Karena pusingnya, dan gak sanggup lagi mikir, merasa Adem Pribumi penyebabnya, lalu Ribut Pribumi pinjam kepala Adem Pribumi.

"Ah, sinting! Giliran gue yang ribut, nih!" Umpat Adem Pribumi yang kini jadi Ribut Pribumi. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun