Ribut Pribumi punya masalah. Ribut Pribumi merasa terancam dan khawatir dengan Asing. Asing Arab sudah pulang. Meninggalkan uang. Lalu asing mana yang dikhawatirkan dan mengancam Ribut Pribumi? (*Sensor*)
Ribut Pribumi lemah. Lemah ini adalah motif protes, khawatir, terancam terhadap keberadaan Asing. Teringat pula akan pengalaman sejarah, bagaimana kala Eropa (Belanda dkk) diberi kepercayaan lalu seenak udel memperlakukan Ribut Pribumi. Sungguh terlalu.
Lemah apa sih Ribut Pribumi? Pukul rata dulu saja secara pengamatan kategoris bahwa lemahnya adalah lemah secara ekonomi, skill, dan mental.
Ekonomi yang dimaksud adalah modal. Lemah Pribumi di hadapan Asing, sang pemilik modal. Pemodal yang berkuasa, mengatur, mendikte, dan bahkan memaksa kayak asing zaman Belanda.
"Emang Asing zaman kini bakal begitu juga kek Belanda?" tanya Adem Pribumi.
"Ya bisa dunk. Sistemnya akan membentuk begitu, yang bermodal yang berkuasa. Zaman berubah, manusia tetap sama memenuhi nafsu yang tak pernah cukup," kata Ribut Pribumi.
Adem Pribumi merenung, lalu menanggapi. "Lalu kalau tak mau mesra sama Asing, sama pemodal, tak mau begitu, ya sudah. Maka terlantarlah sumber daya alam (SDA). Berpuluh-puluh tahun sudah terlantar. Maunya garap sendiri SDA sendiri kan ya, tapi modal lemah. Nafsu tinggi, tapi modal dan skill kurang. Nah, gimana tuh? Nunggu lebaran kuda?
"You know lah kan soal skill? Hai Ribut Pribumi, gak punya skill mumpuni kita. Ya kan? Skill soal menguasai teknologi, menjalankannya, dan menguasai pasar/sistem. Ya, pukul rata aja kamu begitu. Karena inilah juga motif penggerakmu melawan Asing. Ya, kan? Aku tahu! Takut kegencet, takut kalah dengan Asing. Tak kuat hamba melawan Asing. Belum apa-apa diri. Hamba lemah, dhaif, dan hina. Ampuni kami, ya Asing....
"Marah, marah, marah? Gak mau disebut lemah? Ya bersainglah. Begitulah semangat zaman kini. Bersaing. Ya, bersaing. Hrmmm." Kata Adem Pribumi sambil menguatkan kedua otot lengan dan merapatkan gerahamnya.
"Ya, bersaing, bersainglah. Bersainglah. Pribumi nanam sepetak, mereka nanam sehektar. Pribumi makai kail, mereka pakai jala. Pribumi pakai ontel, mereka pakai truk. Pribumi pakai kios, mereka pakai mall. Pribumi bisanya jual ke pasar, mereka nge-ekspor. Monggo, Adem Pribumi yang merasa hebat, bersaing dengan posisi tak imbang itu. Hikhikhik. Oh nasib ya nasib.... Kenapa terjepit begini nasib. Hikhik."
"Lha, ini bicara Ribut Pribumi vs kapitalis apa sama Asing?" Tanya Adem Pribumi.
"Ya, Asing ini sebenarnya tanpa sadar sudah identik dipersepsikan atau dilihat sebagai kapitalis. Termasuk Arab sebenarnya. Arab itu pemodal juga, Asing juga lho. Kapitalis. Sama kapitalisnya. Cuma kami gak takut sama Arab."
"Hmmm." Adem Pribumi menyimak.
"Arab ini beda. Kapitalisnya spesial. Kenapa tak ditakuti, dicemaskan, ketika menginjakkan kaki ke mari, ke Bumi Pertiwi. Malah disenangi, dihormati-hormati, dipuja-puji. Sekali lagi, Arab ini ada beda dengan Asingnya Belanda dkk itu."
"Ya, ya. Apa bedanya?"
"Pengalaman sejarah yang membentuk persepsi bahwa Asing Arab berbeda dengan Asingnya Belanda dkk. Pemodal Arab (sepertinya) memberdayakan pribumi. Kekuasaan, uang, dan hasil dibagi dengan adil. Tidak dikeruk dan dimakan sendiri untuk sekelompok pengusaha, penguasa, dan negaranya kek Asing Belanda dkk itu.
"Nah, pengalaman sejarah itu, keyakinan, dan nilai dianut, membawa reputasi baik untuk Arab. Ntah Arab sekarang masih punya reputasi begitu. Tak tahulah. Anggap saja seperti romantisme masa dulu.
"Sekiranya Asing Arab ini yang mesra dengan kami, maka kami kemungkinan gak ribut. Kami percaya sama Asing (kapitalis) Arab. Ada keadilan, gak serakah-serakah amat gitu-lah. Sosial dan humanisnya tinggi. Ada ramah-tamah. Ada cipika-cipikinya. Angkuhnya sebenarnya juga ada. Tapi ah, angkuhnya itu bisa diabaikan. Mereka tetap raja, pangeran, dan putri di mata kami.
"Itulah membuat reputasi Arab tetap menawan bagi kami pribumi. Kebersamaan, nilai keyakinan, dan sistem kemerataan dan keadilan bagi hasil dalam menggarap SDA pribumi." Ribut Pribumi menerawang.
"Ahai. Coba Asing satunya lagi itu, punya begini mental kek Arab, punya begini pengalaman sejarahnya, dan reputasinya, maka tentuhhhh Ribut Pribumi gak segejolak gini ya. Puk puk.
"Lha, trus gimana ini. Kalau Asing ini tak dipercaya, sementara Arab ngasih modal ke Indonesia cuma berapalah itu (maaf ya gak syukuri) dibandingkan ngasih ke RRC yang jauh berkali-kali-kali-kali-kali lipat. Ngiri gak lu, merajuk gak, you gak kecewa sama Arab. Ini negeri butuh modal buat gerak. Harusnya ditolong. Tapi apa yang dilakukan Arab?"
Kriiiing. Arab nelpon ke Adem Pribumi.
"Arab nelpon," kata Adem ke Ribut Pribumi.
"Angkatlah," sahut Ribut Pribumi bete.
"Jangan menghibah kalian," Arab di seberang bicara. "Kami tahu kalian lagi jelekin Arab. Ada intel kami. Gak usah ngomongin kami. Urus tuh dirimu.
"Kalian gak tahu ape-ape intrik dan kepentingan antarnegara. Kami bertindak bukan mikir soal rakyat semata atau uang. Tapi keberlangsungan suatu negara. Kami gak mau kejadian kayak Irak, Libya, dkk. Itu Trump jelas-jelas udah nabuh genderang perang ama Islam. Maka karena itu, ane sohiban sama China. Mereka kagak ada benci kek ditebarkan Trump. Udeh ngerti sampe sini napa mesra sama China? Kalo udeh ngerti, lanjut kukasih tahu soal duit yang sikit kukasih ke negeri ente.
"Kalian itu dikasih modal pun kagak punya tenaga kalian!"
"Apa?!" teriak Ribut Pribumi. Dia mendengar.omongan Adem Pribumi sama Arab. "Eh, Rab, jangan buta lu! Ada 250 juta ni di Indonesia. Buka mata. Tenaga banyak di Indonesia, Coy!" Ribut Pribumi sambil bertangan metal.
"Lu buka mata! Tenaga itu bukan otot aja ya pengertiannya. Otak, otak, skill, skil, Mas Bro," si Arab tak mau kalah. Sengit.
Ribut Pribumi makin tersinggung.
"Ah, Arab songong. Lu kira kami pribumi bodoh-bodoh amat apa? Emang lu kira kami suku Mante apa? Segitunya kau anggap tak berskill, tak berotak. Eh, denger ya, Rab. Negeri kami ini berotak dan berskill. Liat kami bisa korupsi 5T!!! Emang kalian bisa gitu?! Jangan remehkan kami, ya?! Kita putus! Kami gak mau naik haji lagi ke negeri kalian!"
"Bodo. Emang gue pikirin. Paling situ rugi. Trus berantem lagi pribumi sama pribumi, pribumi sama Asing, pribumi sama pemerintah. Wek!"
Adem Pribumi geleng-geleng. Pribumi terdiam. Merasa ada salah ngomong.
Ribut Pribumi lalu menoleh kepada Adem Pribumi, minta sokongan.
"Gimana, Ni. Arab benar-benar pergihhh. Gak bisa diandalkan," nelangsa Ribut Pribumi.
"Sekarang cuma Asing satunya lagi ini yang mau terlibat dengan Indonesia secara besar-besaran. Asing ini yang Ribut Pribumi curigai karena punya reputasi dan sejarah tak sedap. Tak bisa lagi mengandalkan Arab karena Arab udeh tak percaya, padahal kami percaya. Semprul. Sementara Amerika, pribumi sudah tak percaya. Sudah pribumi tinggalkan. Mengecewakan Amerika itu. Kapitalis serakah. Kini Asing ini harapan ya?"
"Tapi Asing ini, kapitalis juga lho. Ngakunya aja, gak. Beda dengan Amerika yang ngaku dirinya kapitalis. Asing yang mau terlibat dengan Indonesia ini ngakunya aja gak kapitalis padahal perbuatan kapitalis," kata Adem Pribumi.
"Nah Adem Pribumi, bagaimana menaruh harapan dan kepercayaan pada Asing ini agar tak ribut kami? Mereka punya modal, skill, dan mental baja! Paket klop buat menggilas pribumi.
"Kepercayaan masih sulit diberikan. Sulit. Rasanya memberikan kepercayaan pada mereka seperti melepas iman di dada lalu menaruh iman pada Asing. 😱😱😱"
"Coba dimengerti, Asing yang terlibat kerja sama kita ini tentu tak mau terlibat kalau tak ada untung besar. Setuju? Gak level untung receh kan? Nah, yang dikhawatirkan, terancam, tertindasnya ketika keuntungan besar yang dicari ini akan mengorbankan pribumi, menelantarkan, tak diberdayakan, dipinggirkan, tak dilibatkan. Asing ini lebih dicurigai mentingkan diri, pengusaha, perusahaan, sekelompoknya, dan masa bodoh sama pribumi. Hukum dan watak kapitalis ya gitu, yang ngasih modal besar ya untung besar. Hasil didepat sesuai usaha dan kemampuan. Jangan harap lebih diluar kemampuan. Betul?"
"Tapi ini negeri kami, bro. Mbok ya, kami dapat besar. Kami harusnya yang sejahtera. Hasil dibagi adil. Rata. Gak timpang," sangkal Ribut Pribumi.
"Kalo kalian dapat besar, minta adil, rata, bolehlah. Tapi mikir-mikir dulu itu. Karena mereka juga punya kepentingan ekonomi, maklumlah mereka mikir kepentingan mereka sendiri. Masak mereka mikir kepentingan pribumi. Itu bukan tugas mereka. Itu tugas negara kita.
"Mereka juga punya tugas mikir masyarakatnya sendiri. Jadi, negara kita bagian memikirkan masyarakat sendiri. Jangan minta mereka harus mikirin juga rakyat kita. Duh, jangan naif deh kalo mereka dituntut mikirin rakyat kita juga. Itu tugas negara kita, Mas Bro. Mereka berbisnis, sesuai aturan dan mana menguntungkan. Lu jangan naif ya. Maklum itu. Zaman kini muter karena ekonomi. Kalo gak, ayam bisa mati di lumbung padi!"
"Gimana maksudmu, 'ayam mati di lumbung padi?'" tanya Ribut Pribumi.
"Negeri kita kaya, SDA melimpah. Tapi gak kegarap. Kenapa tau? Gregetan lho negara-negara lain. Mau garap, tapi tak boleh. Pribumi garap sendiri, gak bisa. Coba pikir, kenapa kenapa kenapa? Jangan salahin dan terancam sama Asing yang mau garap itu.
"Asing ada modal dan skill, mau garap itu. Banyak negeri Asing ada modal dan skill, apa tak mau garap atau tak dibolehin? Coba situ pikir? Gak boleh garap atau tak mau garap?
"Gak tahu, urusan pemerintah." Sahut Ribut Pribumi pusing.
"Kita ngaku aja deh gak bisa garap tanpa kerjasama. Gak bisa kalo gak ada modal, skil, dan mental bersaing. Mereka punya itu kan. Bukan memuja, tapi bicara fakta. Mereka ke mari cuma kepentingan ekonomi. Ojo mikir macem-macem sama Asing ini. Apalagi mikir mau dijadiin komunis. Itu isu dihembus sama pesaing mereka. Tahu gak sih Ribut Pribumi soal persaingan ekonomi dan kekuatan? Isu komunis dihembus biar gak jadi garap punya lahan kita. Maunya pesaing itu yang garap. Siapa pesaing itu? Mikir sendiri, deh.
"Gini kukasih penenang. Kasian kuliat kamu, Ribut Pribumi. Jadi, kita kamu, minta perkuat parlemen. Di sanalah masalah muaranya. Kalau kuat parlemen kita, bisa kontrol, kawal, awasi kerjasama dengan Asing sesuai komitmen dan keuntungan bersama.
"Ingat ya Ribut Pribumi, keuntungan sesuai usaha dan kemampuan. Jangan minta lebih kalo modal dengkul doang. Malulah sama dirimu. Ingat rezeki sudah diatur, beban diberi sesuai kemampuan, so jangan cemas akut sama Asing. Itu menandakan diri kita lemah banget. Slow aja gitu. Rangkul, sohiban gitu lho.
"Kekuatan kita di parlemen, mengatur, mengawal, mengawasi, biar Asing ini gak melenceng dari kerjasama yang telah dibuat. Tapi kalo parlemen kita tak berintegritas, tak jujur, siap aja deh Asing pun bisa melawan dan beradaptasi menghadapi situasi kecurangan itu. Asing ini punya pengalaman sejarah paling jago beradaptasi dengan polah manusia dan alam.
"Tips udah. Ceramah udah. Kamu, Ribut Pribumi, mau ribut, ributlah. Rugi kamu sendiri. Si Asing paling rugi waktu. Duit gampang mereka cari lagi. Ada yang modali. Arab. Heuheuheu."
Campur aduk perasaan Ribut Pribumi. Geram, tak berdaya, terhina, perasaan lemah, dan benci tapi berharap. Benci pun kini gak ke Asing tapi ke parlemen yang telah menjadi area lahitnya tikus-tikus yang menggerogoti uang, kekuasaan, dan kebijakan yang menyulitkan rakyat. Ribut Pribumi benci tapi masih berharap sama parlemen. Benci tapi berharap. Harus benci ke mana lagi yang tepat?
Karena pusingnya, dan gak sanggup lagi mikir, merasa Adem Pribumi penyebabnya, lalu Ribut Pribumi pinjam kepala Adem Pribumi.
"Ah, sinting! Giliran gue yang ribut, nih!" Umpat Adem Pribumi yang kini jadi Ribut Pribumi. ***
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H