Mohon tunggu...
Fahmi Aziz
Fahmi Aziz Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat kata

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menjiwai Gotong Royong Warga Korea 1998, Kalau di Indonesia Bagaimana?

30 Juni 2020   21:26 Diperbarui: 1 Juli 2020   13:08 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badai pandemi corona membuat perekonomian dalam negeri terhuyung-huyung. Pemerintah mengaku tak lagi sanggup bila harus bekerja sendiri. Situasi saat ini, bahkan dinilai lebih kompleks dibanding krisis moneter (krismon) pada tahun 1998.

Padahal krismon itu sudah cukup runyam. Nilai tukar dolar ke rupiah naik delapan kali lipat, pasar uang dan modal runtuh, ratusan perusahaan gulung tikar, gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK), dan seterusnya. Kondisi serupa juga dirasakan di sejumlah negara Asia lain. 

Sehingga setiap negara heboh melakukan langkah-langkah penyelamatan. Ada yang menyelesaikannya dengan  mandiri. Ada juga yang menggandeng organisasi keuangan internasional. Harapannya sama. Yakni, memulihkan sistem keuangan dan kinerja perekonomiannya secepat mungkin.

Bedanya dengan sekarang, negara terdampak tidak hanya meliputi Asia saja, tapi seluruh negara di dunia. Dari sini, kita paham kondisinya lebih parah ketimbang krisis 1997-1998. 

Bila perekonomian mengalami kontraksi, maka dampak yang lebih besar dialami sektor keuangannya. Lalu apa hubungannya dengan ‘gotong-royong’? Apa bisa krisis ini diselesaikan dengan dengan 'gotong-royong' tersebut?

Nah, belakangan banyak pemberitaan yang isinya menganjurkan publik untuk bergotong-royong menghadapi pandemi beserta dampak krisis ekonomi yang menyertainya. Tapi masyarakat dibuat bingung, gotong-royong seperti apa yang dimaksud. 

Untuk menjawab itu semua, mari kita bahas satu persatu. Dimulai dari, seberapa besar kekuatan sinergi atau gotong-royong sebuah bangsa di dalam menghadapi sebuah krisis. Di sini, saya mengambil contoh dari negara Korea Selatan.  

1. Patriotisme warga Korsel lewat 'Gerakan Pengumpulan Emas'


Mundur 23 tahun silam, Korea Selatan tidak pernah menyangka krisis akan datang begitu tiba-tiba. Peristiwa ini diceritakan secara jelas oleh oleh YouTuber asal Korsel yang juga pernah tinggal di Indonesia, Jan Hansol di kanalnya 'Korea Reomit'.

Hansol mengatakan, sejak 1988, ekonomi Korsel memasuki masa kejayaannya. Banyak perusahaan berekspansi besar-besaran. Pertumbuhan ekonomi "Negeri Ginseng" kelewat cepat. 

Dari awalnya, bekas negara jajahan Jepang yang miskin menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-11 di dunia kala itu. Warga Korea meyakini keberhasilan ini tidak lepas dari "Keajaiban di Sungai Han". 

Kemakmuran itu terus berlanjut. Hingga memasuki pertengahan 1997, Presiden Korsel kala itu, Kim Dae-jung, mendadak menyatakan Korsel di ambang kebangkrutan. Utang mencapai USD 150 miliar. Investasi asing ditarik, 17 dari 30 perusahaan besar bangkrut, pemecatan masal hingga angka bunuh diri meningkat 20-30 persen.

Pemerintah tak punya pilihan lain. Satu-satunya jalan dengan menerima paket bantuan International Monetary Fund (IMF). Meski begitu, ini bukan berarti masalah sudah selesai. Korsel harus segera memperbaiki perekonomian dan sektor keuangannya. Sekaligus melunasi utang IMF secepat mungkin. Dan di sinilah, rasa patriotisme dan 'gotong-royong' warga Korsel diuji. 

Di awal tahun 1998, diinisiasilah "Gerakan Pengumpulan Emas". Seluruh elemen masyarakat dari kalangan atas sampai masyarakat menengah ke bawah turut berpartisipasi menyumbang emas yang dimilikinya dan ditukar dengan won. 

"Mungkin ini terdengar bukan apa-apa. Tapi bayangkan, bila emas itu berasal dari warisan nenek moyang, atau cincin nikah. Itu dikumpulkan demi membantu negara," ucapnya setengah miris bercampur bangga. 

Bahkan, seorang bintang bisbol yang terkenal kala itu Lee Jong-beom, datang membawa 31,5 ons emas, bernilai lebih dari $ 9,000. Emas itu semua dalam bentuk piala dan medali yang telah dimenangkannya selama lima tahun karirnya. Kemudian diikuti sejumlah tokoh lainnya.

Gerakan masif ini membuahkan hasil. Tercatat 3,5 juta orang (hampir seperempat populasi) ikut serta dan berhasil mengumpulkan emas sebanyak 225 ton, dan mendapatkan USD 2,1 miliar. Dana itu dibuat untuk membayar utang dan juga membantu perusahaan-perusahaan besar yang masih bertahan. 

Krisis itu diakhiri dengan dibayar lunasnya utang IMF pada  Agustus 2001. 

Semangat gotong-royong inilah yang terus diwariskan Korsel hingga sekarang. Termasuk ketika menghadapi pandemi corona ini. Dilansir dari The Korea Times, Senin (23/3/2020), Presiden Korsel saat ini Moon Jae-in dan pejabat tinggi pemerintah mengembalikan 30 persen dari gaji bulanan mereka selama tiga bulan. Gerakan ini pun ditiru pula oleh para politisi lainnya. 

2. Menyelamatkan pilar perekonomian nasional

Ilustrasi UMKM sebagai pilar ekonomi nasional. Foto: Kontan/BAIHAKI
Ilustrasi UMKM sebagai pilar ekonomi nasional. Foto: Kontan/BAIHAKI
Dari cerita di atas, saya mulai memahami betapa krisis yang begitu besar bisa diselesaikan bersama dengan gotong-royong. Bahkan, Korea terhitung lebih cepat pulih dibanding Indonesia kala itu. 

Hal baik ini patut ditiru, terlebih pada saat ini. Di mana pandemi turut menyapu perekonomian nasional. Hingga akhir tahun nanti saja, diproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif 0,4-1,0 persen. Pencapaian ini jauh sekali dari rata-rata pertumbuhan sepanjang 20 tahun belakangan, sekitar 5 persen. 

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani sendiri mengaku krisis ini lebih kompleks dibanding krismon 1998. Karena penyebaran virusnya yang belum bisa ditahan. Sementara, vaksinnya masih dalam tahap pengujian. "Belum jelas, kapan pandemi ini berhentinya," ungkap dia, Senin (6 April 2020). 

Adapun upaya untuk memutus rantai penularan COVID-19 sementara ini justru berpotensi menurunkan kegiatan produksi dan aktivitas ekonomi domestik. Apabila penyebaran COVID-19 terus berlanjut, tekanan terhadap sistem keuangan Tanah Air akan lebih parah lagi. 

Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) menjadi sektor paling terdampak. Padahal sebagai pilar perekonomian nasional, UMKM memiliki peran vital.

Berdasarkan data BPS 2016, UMKM menyerap hingga 89,2 persen dari total tenaga kerja dan menyediakan hingga 99 persen dari total lapangan kerja. Juga menyumbang 60,34 persen dari total PDB nasional, 14,17 persen dari total ekspor dan 58,18 persen dari total investasi. Sudah barang tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Akhirnya, pemerintah melakukan intervensi. Dimulai dengan mengucurkan berbagai alokasi anggaran dan skema bantuan guna menstimulus pemulihan UMKM. Tapi, yang namanya stimulus tidak bisa terus-menerus. Pemerintah memiliki anggaran terbatas. Oleh karena itu, perlu partisipasi masyarakat guna menyelamatkan UMKM. 

Partisipasi yang bagaimana bisa dilakukan masyarakat? Tidak lain dan tidak bukan dengan membeli dan menggunakan produk UMKM. 

Lah kok, malah enak banget dong pelaku UMKM? Seperti yang sudah disinggung di awal. UMKM merupakan urat perekonomian kita. Dari mana lapangan pekerjaan? Dari mana pemasukan negara? Dari mana ekspor? Dari mana investasi? Ya, UMKM. Kita memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain. Perlu adanya sinergi dari kedua belah pihak

3. Gerakan Bangga Buatan Indonesia


Guna memaksimalkan partispasi masyarakat ini, pemerintah mencanangkan 'Gerakan Bangga Buatan Indonesia'. Sejatinya, kampanye semacam ini sudah ada sejak lama, tapi tidak efektif dan kurang terdengar gaungnya.

Berkaca dari kampanye pengumpulan emas Korea, ada beberapa elemen yang perlu ada di dalam kampanye ini agar bisa berhasil. 

Pertama, kesadaran. Dimulai dari urgensi tiap individu turut serta mengatas krisis ini bersama. Mungkin karena belum melihat dengan mata kepala sendiri baru, banyak orang masih meremehkan. Sadarnya nanti kalau sudah parah, tentu ya sudah terlambat. Oleh karena itu butuh "sosialisasi" yang masif.

Kedua, kemauan untuk berkorban. Memunculkan kemauan ini tidak mudah. Tidak bisa dipungkiri  banyak orang berpikir barang impor lebih murah, atau lebih berkualitas. Bahkan menganggap beli barang 'harus branded'. 

Kita belum memiliki rasa bangga terhadap identitias kita sebagai orang Indonesia, justru merasa malu. Salah satu buktinya, kita tentu pernah mendengar guyonan di medsos 'negara +62'. Mungkin terlihat remeh, tapi cukup mencerminkan kurangnya rasa nasionalisme di generasi muda kita. 

Bertolak belakang dengan orang Korea. Percaya atau tidak, orang Korea sangat patriotik bahkan sampai ke hal paling sepele. 

Sebagai contoh, jika ada antrean, petugas Korea akan menomorsatukan orang Korea. Atau lainnya, kalau ada barang buatan Korea, orang Korea tidak berpikir dua kali, ya dipilihnya. Itulah salah satu faktor, masyhurnya Samsung saat ini, bercokolnya Lotte Mart  di mana-mana dan masih banyak lagi.

Sebenarnya dua poin di atas ini bisa diselesaikan sekaligus selama ada poin ketiga, yaitu "keteladanan". Percaya atau tidak, keteladanan ini penting. 

Seperti yang bisa dilihat ketika krisis di Korsel, seorang pemain bisbol ternama rela menyumbangkan piala dan medali emasnya. Inilah yang sangat dibutuhkan masyarakat kita. 

Di Indonesia, pengaruh 'keteladanan' ini juga sudah terbukti. Ambil contoh TikTok. Setelah beberapa tahun diluncurkan, baru booming ketika banyak artis dan influencer turut serta dalam berbagai challenge di platform TikTok. Dimulai dari penyanyi Rizky Febian yang ikutan #EntahApaYangMerasukimu Challenge. 

Diikuti Dian Sastro, Luna Maya, Gisella Anastasia, Ayu Ting-Ting dan sejumlah seleb lainnya. Mereka tidak mau ketinggalan. Bahkan dianggap sebagai sarana baru mengangkat pamor mereka.

Bisa dibayangkan kalau rumus ini juga diaplikasikan untuk mengkampanyekan 'Gerakan Bangga Buatan Indonesia' ini. 

Misalnya, Syahrini yang selalu menenteng tas Hermes ke mana-mana. Koleksinya dari yang harganya ratusan juta hingga edisi terbatas senilai Rp 2 miliar. Suatu ketika, Syahrini diketahui membawa tas dengan brand 'Bacgteria'. Ini akan menjadi berita sensasional. Seperti diketahui brand ini, merupakan salah satu brand tas lokal yang telah go internasional. 

Atau misal yang lain, seleb Nikita Mirzani tak jadi beli sepeda ala sultan Alex Moulton Rp 175 juta. Tapi memborong 55 sepeda lipat produksi lokal Element folding bike Ecosmo Captain Amerika Edition yang satuannya Rp 3,15 juta. Atau kalau ditotal mencapai Rp 173 juta. Sepeda ini akan diberikannya kepada anak yatim piatu, sekaligus sebagai upaya mendukung produk lokal.

Tapi ya sekali lagi kedua contoh ini, hanya permisalan saja. Syukur-syukur bisa terwujud. Setidaknya, publik bisa melihat ada sosok atau public figure yang mengawali. Semakin banyak artis yang ikut, semakin baik. 

Semua pihak bergotong-royong dan ambil bagian. Pemerintah mengintervensi, kalangan influencer mengawali, media massa menyosialisasikan, e-commerce membuat event yang relevan. 

Dari sana masyarakat akan mulai menyadari bahwa hal ini penting dan akhirnya berduyun-duyun berpartisipasi. Sehingga, masalah perekonomian bisa diatasi dan stabilitas sistem keuangan pun terjaga.

Akhir kata, mari kita introspeksi. Apakah kita sudah jadi tuan rumah di negeri sendiri? Atau jangan-jangan malah jadi 'ayam mati di lumbung padi'? Serta menjadikan krisis ini titik awal untuk mulai berkontribusi untuk RI. Caranya? Ya, mulai membeli dan menggunakan  produk dalam negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun