Fenomena globalisasi telah menghadirkan tatanan kehidupan baru di era modern. Identitas sosial dan budaya saling terhubung dan saling mempengaruhi, menafikan sekat ruang dan waktu. Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat proses penyebarluasan konsumsi informasi. Jaringan akses yang mudah dijangkau oleh setiap individu membuat muatan-muatan global hinggap dalam tradisi serta budaya masyarakat yang tidak memandang batas usia maupun stratifikasi sosial.
Dunia dikelilingi berbagai pilihan konsumtif dari aneka ragam informasi. Pilihan-pilihan itu tidak sekedar menghasilkan efek positif, tapi juga dampak negatif. Bukan hanya informasi edukatif yang bisa mendukung peningkatan ilmu pengetahuan, tapi juga informasi destruktif yang mengancam tradisi, budaya dan identitas bangsa. Ibarat pisau bermata dua, teknologi dan informasi mengandung potensi yang bermanfaat sekaligus merusak. Namun, suatu hal yang tidak bisa dimungkiri, globalisasi membawa paradigma baru dalam kehidupan umat manusia.
Pergeseran Paradigma
Globalisasi yang didukung oleh kemajuan teknologi dan informasi membuat limitasi jarak tidak lagi menjadi hambatan (borderless). Meminjam ungkapan David Held, teknologi dan informasi mengandung keluasan (extencity), kekuatan (intencity), kecepatan (velocity), dan dampak (impact) luar biasa yang tidak terbayangkan sebelumnya. Keempat hal itulah yang membuahkan peluang sekaligus ancaman dalam upaya memajukan kualitas kehidupan umat manusia melalui pemanfaatan jaringan internet.
Teknologi informasi diakses dan dijamah hingga di sudut-sudut yang sulit diterka keberadaannya. Internet merambah ke ruang privat, tanpa membutuhkan izin dan sensor sang pemilik. Bahasa-bahasa cyber yang mencirikan sebuah hubungan pertemanan dan komunitas tertentu dilakoni dengan baik oleh anak-anak yang bahkan tak pernah mengenal komunitas tersebut. Budaya-budaya yang tidak sepenuhnya bisa diterima oleh budaya bangsa, budaya yang bahkan diproteksi oleh tempat asalnya, diakses penuh tanpa batasan-batasan tertentu.
Sebagai peluang, akses internet menggeser paradigma tradisi yang dibahasakan dalam istilah elektronik sebagai analog-oriented menuju digital-oriented. Hal ini didukung oleh teknologi dan informasi yang berperan sebagai enabler dalam perubahan sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Dalam pradigma analog-oriented, sebuah proses penyebaran informasi dilakukan dengan berbagai tahap konvensional yang memerlukan ruang dan waktu yang tidak kecil dan sedikit. Sementara itu, dalam paradigma digital-oriented, proses penyebaran informasi dilakukan secara luas, cepat dan tepat.
Sebagai contoh, tanpa dukungan teknologi dan informasi melalui jaringan internet, seorang pengrajin yang bermukim di daerah pelosok yang hendak memasarkan hasil kerajinannya, harus melalui cara-cara konvensional dengan bantuan para tengkulak, proses perizinan hingga pemasaran yang menghabiskan waktu yang lama dengan biaya yang tidak sedikit. Di lain pihak, dengan akses jaringan informasi, mereka bisa memasarkan hasil kerajinan mereka secara langsung dengan biaya murah dan terjangkau.
Dalam komunikasi politik, akses internet juga mampu mengkomunikasikan pesan dan aspirasi masyarakat bawah melalui jaringan sosial atau situs informasi yang dimiliki oleh partai politik, politisi ataupun penguasa, tanpa harus melalui tahap-tahap yang panjang, berliku dan cenderung birokratis. Pada intinya, pergeseran paradigma (shifting paradigm), telah merubah pola komunikasi individu ataupun kelompok masyarakat dalam upaya meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Tentu saja, hal ini bisa dilakukan sejauh teknologi dan informasi dijadikan sebagai alat atau instrumen yang mendukung, bukan mengancam.
Pemahaman tentang pergeseran paradigma ini sangatlah penting dalam menyatukan visi dan misi kebangsaan tentang manfaat teknologi dan informasi, khususnya pemanfaatan dan penggunaan jaringan internet. Tanpa dengan pemahaman tersebut, teknologi dan informasi akan sekedar menjadi sebuah produk “hampa nilai” dari globalisasi. Pengguna dan penerima informasi adalah pihak yang menentukan sejauh mana arah pemahaman tentang pesan dan informasi dari teknologi. Penyebar dan peyampai pesan memiliki agenda tertentu, membawa segudang misi ideologis demi mencapaian tujuan tertentu.
Dalam konteks ini, sarana dan wadah menjadi sasaran empuk menyampaikan pesan. Jaringan teknologi informasi memungkinkan wadah tersebut diakses secara penuh. Tanpa batasan dan rambu khusus dari pihak yang berkepentingan terhadap penyebaran tersebut, atau penguasa, maka dampak yang akan ditimbulkan sulit dihindari.
Ancaman Kedaulatan
Sebaran informasi melalui jaringan internet yang menembus batas ruang dan waktu serta menghilangkan hambatan geografis, memungkinkan terjadinya transformasi pola kehidupan masyarakat. Di satu sisi, hal ini merupakan ancaman bagi kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan yang, salah satunya, diukur dari ketentuan batas wilayah menjadi kabur seiring dengan aktualisasi globalisasi yang tak mengenal batas. Negara seringkali tidak melibatkan faktor ini sebagai sebuah ancaman. Hal ini terlihat dari tipikal pertahanan dan keamanan yang masih menitikberatkan pada ancaman darat, laut dan udara.
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki sekitar 17 ribu lebih pulau (6 ribu pulau berpenduduk) yang tersebar dalam area geografis 1.919.440 km2. Kondisi ini merupakan keuntungan dari sumber daya yang besar, baik secara demografis maupun geografis. Namun, jumlah pulau yang tersebar justru menjadi hambatan proses pembangunan dan pengembangan kehidupan masyarakat. Tingginya biaya dan kondisi geografis menjadi faktor penting sulitnya pembangunan dan pengembangan tersebut terlaksana di berbagai pelosok, sehingga fokus pembangunan lebih dititikberatkan pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Tak terbilang konflik terjadi dilatarbelakangi oleh kesenjangan sosial, ekonomi maupun budaya. Hembusan konflik pun tidak hanya ditiup oleh pihak luar, tapi juga oleh kalangan yang justru merupakan bagian dari anak bangsa sendiri. Akibatnya, solidaritas kebangsaan terkikis dan mengancaman keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa. Ironisnya, fenomena ini hanya dipandang sebagai ancaman yang sekedar diselesaikan melalui pendekatan fisik tanpa secara utuh menyelesaikan akar persoalan yang melataribelakangi konflik tersebut.
Matra cyber tidak luput dari ancaman besar yang ditimbulkannya. Interaksi di dunia maya sudah menjadi bagian, jelmaan sekaligus representasi dari interaksi riil. Meski ancaman yang ditimbulkan tidak berbentuk fisik (kasat mata), namun efek yang ditimbulkan bisa dirasakan sebagai ancaman nyata. Pengaruh ideologi, tradisi dan budaya luar yang tidak sesuai dengan ideologi, tradisi dan budaya bangsa dengan mudah merasuki jiwa dan pikiran anak bangsa. Nasionalisme yang dipupuk oleh para pendiri bangsa dengan berbekal warisan kebangsaan, digantikan dengan ideologi, tradisi dan budaya luar.
Di sisi lain, akses informasi bisa memicu peningkatan kualitas hidup masyarakat, khususnya mereka yang bermukim di pelosok-pelosok daerah. Pada kenyatannya, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi mengalami kesenjangan yang cukup dalam antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Minimnya akses teknologi dan informasi membuat kualitas dan kapasitas hidup masyarakat di pelosok daerah jauh di bawah standar kemapanan. Selain itu, semangat kebangsaan dan rasa memiliki sebagai warga negara yang berdaulat tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai. Kondisi ini sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak luar dalam mengeksploitasi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Karena itu, maksimalisasi peran teknologi dan informasi dengan menempatkannya sebagai sarana peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah salah satu solusi dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa.
Peran Negara (Regulator)
Pada penghujung tahun 2003, Persatuan Bangsa-Bangsa mengadakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Masyarakat Informasi yang menyetujui terbentuknya masyarakat informasi di seluruh dunia. Persetujuan ini berdampak pada kebijakan seluruh negara-negara di dunia untuk mengembangkan segala kebutuhan yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Masyarakat dunia, termasuk Indonesia menyadari pentingnya pertumbuhan bangsa yang sadar dan cepat menangkap informasi sehingga akan berdampak pada pertumbuhan pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat berpengetahuan. Pada akhirnya tidak ada lagi negara berkembang dan negara terbelakang dari segi pengetahuan dan kemandirian.
Masyarakat informasi dan berpengetahuan telah menjadi tujuan bersama yang telah ditetapkan di dalam KTT tersebut. Pengetahuan menjadi modal bagi pembangunan ekonomi, menggantikan sumber daya alam yang dapat terdepresiasi dan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berujung pada kerugian umat manusia. Untuk itu, KTT tersebut menyapakati rencana penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sampai 50 % untuk setiap negara pada tahun 2015. Indonesia kemudian membuat roadmap atau peta serta program menuju “Indonesia Information Society 2015”. Salah satu ciri dari masyarakat informasi setidaknya 50 persen penduduk Indonesia sudah dapat mengakses teknologi informasi dan komunikasi.
Pada tahun 2010, Kementerian Komunikasi dan Informasi menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 45 juta orang, atau sekitar 19% dari total populasi penduduk Indonesia. Meski demikian, persentase penggunaan masih didominasi oleh masyarakat perkotaan. Sementara itu, masyarakat pedesaan masih bergelut dengan cara-cara konvensional, meskipun bantuan akses layanan internet gratis telah memasuki beberapa daerah pedesaan.
Suatu hal yang sulit dinafikan, akses internet di pelosok-pelosok desa masih belum merata dan dimanfaatkan secara maksimal. Padahal regulasi yang memungkinkan perkembangan dan pemerataan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang 36 tahun 1999 (Pasal 16 dan 26) menyatakan bahwa setiap penyelenggara telekomunikasi (jaringan dan/atau jasa) wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal (Universal Service Obligation/USO) dan Biaya Hak Penyelenggara. Karena itu, siapa saja yang mendapatkan revenue penyediaan layanan teknologi informasi dan komunikasi wajib mematuhi ketentuan tersebut.
Besarnya kontribusi USO dan BHP ditentukan dalam PP nomor 7 tahun 2009 pasal 3 yang nilainya sebesar 1,25% dan 0,5% dari gross-revenue penyelenggara. Dana USO adalah dana yang harus digunakan untuk melaksanakan kewajiban penyediaan layanan teknologi informasi dan komunikasi di daerah-daerah yang belum memungkinkan untuk digelarnya layanan tersebut secara komersial karena affordability dan tingkat kebutuhan terhadap layanan TIK dari daerah tersebut masih rendah.
Berdasarkan regulasi tersebut, kebutuhan akan teknologi dan informasi melalui pemanfaatan akses jaringan internet melalui, seharusnya telah menjadi kebutuhan bersama. Seluruh pihak yang berkepentingan dengan kemajuan bangsa wajib terlibat dalam mewujudkan tujuan masyarakat informasi. Persoalan pertumbuhan dan pemerataan akses informasi tidak lagi menjadi kendala utama yang berdampak pada kesenjangan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Meski demikian, di balik dukungan regulasi tersebut, kesiapan kultural masyarakat menghadapi efek penyebaran informasi, harus menjadi perhatian utama. Kuantitas pengguna internet yang tiap tahun mengalami peningkatan pesat perlu diantisipasi dengan keseriusan pemerintah dalam menyiapkan serangkaian aturan teknis yang terukur dalam menyaring informasi-informasi yang membahayakan kehidupan masyarakat.
Pada tahun 2008, DPR telah mengesahkan proteksi terhadap sisi negatif penyebaran teknologi dan informasi. 54 pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentang penyebaran informasi yang memuat hal-hal yang melanggar etika, norma dan nilai-nilai bangsa. Tidak hanya itu, UU Pornografi juga menyajikan peraturan yang sama untuk memberantas sisi negatif dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
UU ITE juga mengatur tentang pihak-pihak yang merasa dilecehkan dan dirugikan secara moril untuk menuntut haknya dan mengajukan pihak-pihak yang merugikan ke pengadilan. Berbagai kasus telah berlangsung terkait dengan hal itu. Penerapan UU ini tidak selalu berbuah manis sesuai dengan tujuan. Berbagai tafsiran yang mengiringi pemaknaan UU ITE terkadang menjadi persoalan. Terkait dengan penyebaran informasi yang berdampak negatif, pada titik tertentu, pemerintah harus menarik garis tegas, memberi demarkasi yang distingtif tentang pemahaman apa yang disebut bermanfaat dan mudharat.
Penutup
Globalisasi selalu menghadirkan dua sisi yang paradoks; positif dan negatif. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung penyebaran informasi secara global pun tidak luput dari dua sisi tersebut. Yang jelas, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lebih sebagai sarana dan media, bukan sekedar ancaman yang setiap saat mengintai kehidupan masyarakat. Pemahaman atas salah satu pilihan tersebut menentukan sejauh mana strategi kita dalam memanfaatkan media teknologi dan informasi.
Kita perlu mendukung upaya sensor ketat dan pemblokiran yang selama ini dilakukan oleh pihak Depkominfo. Namun upaya tersebut tidaklah cukup tanpa didukung dengan penyadaran masyarakat melalui pembinaan, pendidikan dan pelatihan tentang bagaimana menggunakan internet sehingga bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat, kalangan agamawan, budayawan, praktisi teknologi dan informasi, penyelenggara jasa internet, lembaga swadaya masyarakat dan pihak media massa dan elektronik untuk mendefinisikan dan menyebarkan secara bersama tentang muatan-muatan informasi yang dipandang bermanfaat atau berbahaya, serta peran orang tua yang senantiasa memberikan bimbingan pemahaman tentang informasi yang layak dan tidak layak diterima.
Selain upaya preventif tersebut di atas, aturan dan hukum tentang pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi dan informasi harus ditegakkan. Hal ini dilakukan untuk memberi efek jera dan menegaskan pentingnya teknologi dan informasi sebagai sarana dan media yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa.**
---
Makalah Ir. Fayakhun Andriadi, M.Kom (Anggota Komisi I DPR RI) dalam acara Talkshow dan Workshop Perbanas “Pemanfaatan TI dan Internet yang Sehat untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia Indonesia”, Jakarta, 28 September 2010
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI