Mohon tunggu...
Fayakhun Andriadi
Fayakhun Andriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Fayakhun Andriadi, Ketua Partai Golkar Prov DKI Jakarta. Anggota Komisi I DPR RI 2009 - 2014 dan 2014-2019. Lahir 24 Agustus 1972. Sarjana Elektro Universitas Diponegoro, Magister Komputer Universitas Indonesia (UI) dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Politik UI (2014) dengan disertasi Demokrasi di Era Digital. Pemilik website www.fayakhun.com. Twitter: @fayakhun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemanfaatan Akses Internet dalam Mendukung Kemajuan Bangsa

30 September 2010   07:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebaran informasi melalui jaringan internet yang menembus batas ruang dan waktu serta menghilangkan hambatan geografis, memungkinkan terjadinya transformasi pola kehidupan masyarakat. Di satu sisi, hal ini merupakan ancaman bagi kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan yang, salah satunya, diukur dari ketentuan batas wilayah menjadi kabur seiring dengan aktualisasi globalisasi yang tak mengenal batas. Negara seringkali tidak melibatkan faktor ini sebagai sebuah ancaman. Hal ini terlihat dari tipikal pertahanan dan keamanan yang masih menitikberatkan pada ancaman darat, laut dan udara.

Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki sekitar 17 ribu lebih pulau (6 ribu pulau berpenduduk) yang tersebar dalam area geografis 1.919.440 km2. Kondisi ini merupakan keuntungan dari sumber daya yang besar, baik secara demografis maupun geografis. Namun, jumlah pulau yang tersebar justru menjadi hambatan proses pembangunan dan pengembangan kehidupan masyarakat. Tingginya biaya dan kondisi geografis menjadi faktor penting sulitnya pembangunan dan pengembangan tersebut terlaksana di berbagai pelosok, sehingga fokus pembangunan lebih dititikberatkan pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Tak terbilang konflik terjadi dilatarbelakangi oleh kesenjangan sosial, ekonomi maupun budaya. Hembusan konflik pun tidak hanya ditiup oleh pihak luar, tapi juga oleh kalangan yang justru merupakan bagian dari anak bangsa sendiri. Akibatnya, solidaritas kebangsaan terkikis dan mengancaman keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa. Ironisnya, fenomena ini hanya dipandang sebagai ancaman yang sekedar diselesaikan melalui pendekatan fisik tanpa secara utuh menyelesaikan akar persoalan yang melataribelakangi konflik tersebut.   

Matra cyber tidak luput dari ancaman besar yang ditimbulkannya. Interaksi di dunia maya sudah menjadi bagian, jelmaan sekaligus representasi dari interaksi riil. Meski ancaman yang ditimbulkan tidak berbentuk fisik (kasat mata), namun efek yang ditimbulkan bisa dirasakan sebagai ancaman nyata. Pengaruh ideologi, tradisi dan budaya luar yang tidak sesuai dengan ideologi, tradisi dan budaya bangsa dengan mudah merasuki jiwa dan pikiran anak bangsa. Nasionalisme yang dipupuk oleh para pendiri bangsa dengan berbekal warisan kebangsaan, digantikan dengan ideologi, tradisi dan budaya luar.

Di sisi lain, akses informasi bisa memicu peningkatan kualitas hidup masyarakat, khususnya mereka yang bermukim di pelosok-pelosok daerah. Pada kenyatannya, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi mengalami kesenjangan yang cukup dalam antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Minimnya akses teknologi dan informasi membuat kualitas dan kapasitas hidup masyarakat di pelosok daerah jauh di bawah standar kemapanan. Selain itu, semangat kebangsaan dan rasa memiliki sebagai warga negara yang berdaulat tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai. Kondisi ini sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak luar dalam mengeksploitasi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Karena itu, maksimalisasi peran teknologi dan informasi dengan menempatkannya sebagai sarana peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah salah satu solusi dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa.

Peran Negara (Regulator)

Pada penghujung tahun 2003, Persatuan Bangsa-Bangsa mengadakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Masyarakat Informasi yang menyetujui terbentuknya masyarakat informasi di seluruh dunia. Persetujuan ini berdampak pada kebijakan  seluruh negara-negara di dunia untuk mengembangkan segala kebutuhan yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Masyarakat dunia, termasuk Indonesia menyadari pentingnya pertumbuhan bangsa yang sadar dan cepat menangkap informasi sehingga akan berdampak pada pertumbuhan pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat berpengetahuan. Pada akhirnya tidak ada lagi negara berkembang dan negara terbelakang dari segi pengetahuan dan kemandirian.

Masyarakat informasi dan berpengetahuan telah menjadi tujuan bersama yang telah ditetapkan di dalam KTT tersebut. Pengetahuan menjadi modal bagi pembangunan ekonomi, menggantikan sumber daya alam yang dapat terdepresiasi dan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berujung pada kerugian umat manusia. Untuk itu, KTT tersebut menyapakati rencana penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sampai 50 % untuk setiap negara pada tahun 2015. Indonesia kemudian membuat roadmap atau peta serta program menuju Indonesia Information Society 2015. Salah satu ciri dari masyarakat informasi setidaknya 50 persen penduduk Indonesia sudah dapat mengakses teknologi informasi dan komunikasi.

Pada tahun 2010, Kementerian Komunikasi dan Informasi menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 45 juta orang, atau sekitar 19% dari total populasi penduduk Indonesia. Meski demikian, persentase penggunaan masih didominasi oleh masyarakat perkotaan. Sementara itu, masyarakat pedesaan masih bergelut dengan cara-cara konvensional, meskipun bantuan akses layanan internet gratis telah memasuki beberapa daerah pedesaan.

Suatu hal yang sulit dinafikan, akses internet di pelosok-pelosok desa masih belum merata dan dimanfaatkan secara maksimal. Padahal regulasi yang memungkinkan perkembangan dan pemerataan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang 36 tahun 1999 (Pasal 16 dan 26) menyatakan bahwa setiap penyelenggara telekomunikasi (jaringan dan/atau jasa) wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal (Universal Service Obligation/USO) dan Biaya Hak Penyelenggara. Karena itu, siapa saja yang mendapatkan revenue penyediaan layanan teknologi informasi dan komunikasi  wajib mematuhi ketentuan tersebut.

Besarnya kontribusi USO dan BHP ditentukan dalam PP nomor 7 tahun 2009 pasal 3 yang nilainya sebesar 1,25%  dan 0,5% dari gross-revenue penyelenggara. Dana USO adalah dana yang harus digunakan untuk melaksanakan kewajiban penyediaan layanan teknologi informasi dan komunikasi di daerah-daerah yang belum memungkinkan untuk digelarnya layanan tersebut secara komersial karena affordability dan tingkat kebutuhan terhadap layanan TIK dari daerah tersebut masih rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun