Mohon tunggu...
Aldian Faxa
Aldian Faxa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah aku yang sedang mencari siapakah aku. Aku mungkin budak, aku mungkin sarjana, aku mungkin hanya rakyat biasa. Tetapi aku punya mulut punya otak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fajar Di Minggi Gerimis

25 Januari 2014   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“31 Desember 2012—Siang yang panas. Meskipun begitu diri ini tak luput dari kegemberiaan yang teramat sangat. Koran SM menerima naskahku. Besok kuambil honor, mungkin ngajak Beni sambil ngobrol dan jajan-jajan adalah ide bagus. Akan kutraktir dia, atas kekayaan idenya....”

Subhanallah!, ia tak pernah cerita tentang itu sama sekali. Lewat akun facebook atau twitter juga tidak. Kukira baginya menulis hanya sekadar menyela kesibukkan. Tapi redaksi apa? Ia menulis tentang kehidupan manusia beserta alamnya? Dan uang 200.000 itu?

Dan ini tentang pekerjaannya:

“4 Agustus 2012—Aku muak dengan jalannya birokrasi perusahaan. Mengapa data pembacaan satelit itu perlu dimanipulasi? bahkan itu dilakukan sebagai hal yang wajar? Kalau demikian data yang kuserahkan tidak sesuai dengan apa yang kuperoleh selama pengukuran dan pemetaan wilayah Cirebon. Aku tak tahan lagi, dan nurani mahasiswa dalam dadaku tak bisa dibohongi dan diajak berdamai. Rupanya ia yang setingkat direktur juga kena terjang pola-pola kotor itu. Memang uang banyak kudapat, tapi kalau terus begini aku bisa mati depressi! Dan itu tidak satu-dua, hampir sebagian besar perusahaan pada memanipulasi data!”

Masalah lain lagi. Rupanya proyeknya tak berjalan lancar, setidaknya itu yang ia pikirkan. Tak dapat berdamai dengan naruni mahasiswanya, intelektualnya. Kawanku ini tetaplah pemuda yang idealis.

Catatan-catatan selanjutnya menceritakan bahwa ia ternyata tak mencari proyek lagi selama dua tahun terakhir. Ia tetap mempertahankan prinsipnya meski itu melewatkan gaji besar di depan mata. Kecakapannya menulis, yang baru ia kuasai sejak berakhirnya proyek terakhir, menggiringnya pada muara yang tepat. Maksudku pada apa yang ia harapkan.

Baru jelas buatku bahwa ia tidak berkutat pada proyek pengukuran, pemetaan dan survey lagi, melainkan menulis untuk selanjutnya dikirim ke beberapa redaksi. Hanya tidak banyak disebutkan di catatannya, redaksi mana yang ia tuju juga tidak disebutkan.

“... Gunung itu indah, tapi jauh lebih menakjubkan ketika aku berada dipuncak. Disini aku merasa damai, bersih, suci, seolah semua yang kuinginkan dapat kugapai dengan bebasnya, dengan mudahnya. Aku menginginkan alam ini. Kau pohon! Kau gunung! Kau awan! Lautpun tak ketinggalan! Baik, akan kuendapkan kalian semua dalam tulisan....Temanku, Nina, pandai saja dalam berdikusi. Aku banyak terbantu karena galian ide-ide imajinatifnya. Dengan ini tulisanku semakin kaya. Redaksi Nasional G. adalah tujuanku selama ini, Nina mendukung, dan lainnya juga. Terimakasih.”

Pada tanggal yang lain lagi:

“Tulisanku terjual 150.000, betapa bahagianya. Aku tak memandang besar, dan kalau boleh dibilang; ini kelima kalinya tulisanku layak jual. Tetap saja buatku; kepuasan itu yang mengembungkan kepala.”

Ini yang tertulis pada halaman terakhir, beberapa bulan setelah tulisan di atas. Semoga bukan sesuatu yang mengejutkan lagi, pikirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun