Rupanya diantara kami terbentang prinsip yang berlainan, prinsip yang tak akan berdamai. Ia punya pemikiran sendiri, juga aku. Percakapan masalah prinsip agaknya harus berujung pada saling pengertian di antara kami, setelah sekian perdebatan benar-benar buntu sampai ke dasar. Mungkin ia pikir aku tak mengerti? Salah! Lebih dari itu, aku sangat mengerti kau, kawan, kau adalah seorang anak yang terlalu khawatir dengan orangtuamu. Meski biaya kuliah adalah tanggungjawab orang tua, dan kita bisa saja tak perlu ikut campur atau semacamnya, tapi kau punya standar lain. Aku hargai itu. Hanya tanggungjawabnya sebagai mahasiswa jangan terlupa; belajar, dan mengembangkan kemampuan-kemampuan lain. Kenyataannya sungguh berlainan.
Sejak semester lima ia aktif mengambil proyek di beberapa perusahaan bersama kawan senior. Proyek itu tergolong berat terutama bagi mahasiswa setingkat dia, karena harus mahir dalam pengukuran, survey wilayah, pemetaan, citra satelit dan lain-lain. Yang lebih penting, resiko kehilangan waktu untuk kuliah sering tak dapat dihindari. Kalau sudah demikian ia harus pandai cari teman yang setia menolong disaat tugas-tugas kuliah menumpuk. Cukup anek bagiku, mengapa hal seperti itu bisa membudaya di sana. Tidak adakah persyaratan yang cukup ketat bagi mahasiswa yang ingin mencari proyek? Lewat perijinan dekan, misalnya.
Masalah resiko kehilangan waktu kuliah dan tingkat kesulitan proyek tak jadi soal baginya. Keluarganya—terutama orangtuanya—seolah menjadi prioritas nomor wahid mengalahkan pesaing-pesaingnya. Setidaknya untuk saat ini. Dan kuliah itu...entahlah. Ia punya pemikiran sendiri.
Suatu standar yang cukup aneh dibanding diriku. Aku sendiri seorang mahasiswa seperti pada umumnya; uang saku dari orangtua tiap bulan, mengikuti kuliah secara teratur dan kadang-kadang jadi panitia kegiatan kampus. Selebihnya kulewatkan bersama kawan-kawan, ngobrol, diskusi dan sekadar menghabiskan waktu senggang. Yang penting jangan sampai membuat kuliahku tercecer tak terurus.
Ia tidak. Kawanku ini seorang yang aktif, dinamis dan cerdas. Meski mengikuti banyak kegiatan, menjadi salah satu pengurus UKM, ketua PA, dan entah apalagi, tapi nilai-nilai kuliahnya selalu cum laude. Aku tak pernah mencapai nilai setinggi itu.
Ini semua terjadi hingga akhir tingkat dua. Selanjutnya adalah perbelokan arah yang sangat drastis. Ia menjadi sangat family oriented, dan berlebih-lebihan. Atau pendapatku saja yang terlalu sentimen dan dipenuhi duga-sangka tak beralasan. Barangkali ada masalah di keluarganya, atau kejadian lain hingga pribadinya nampak berbeda. Tapi apa? Kejadian apa? Biasanya ia perlu bercerita padaku, Sekarang tidak atau belum waktunya bagi kawanku ini. Tetapi seorang kawan perlu tahu apa yang menjadi kesulitan bagi kawan lainnya, terlebih kami sangatlah bersahabat. Biasanya ia memang menceritakannya padaku, hanya kali ini tidak. Baiklah, aku hargai itu juga.
**
Ruang Melati.
Saat itu menjelang maghrib. Aku hendak pamit pulang pada kawanku. Kuperlukan melihat raut mukanya yang kurus, kering kehilangan banyak daya, dan barangkali semangatnya mulai pudar. Benarkah ini kawanku? Dalam sekejap aku sempat tak percaya. Kusingkirkan pikiran yang memancing-mancing kesedihan itu.
“Aku harus pulang, kawan” kataku lirih.
“kenapa terburu-buru,” ia mengeluh dengan suara yang berat dan dalam, kemudian ia mencoba bangun dan menunjuk lemari yang berdiri diam di sebelahnya.