Dengan cepat kucegah ia bangun karena bagian perutnya mengembung oleh cairan itu. Ia pasti kesakitan jika daerah itu tertekuk, dan posisi tiduran adalah yang paling baik untuk saat ini, “tak perlu bangun, biar aku saja. Apa yang ingin kau ambil? katakan,” seraya menghampiri lemari itu.
“Ada buku, dibawah tumpukkan baju. Lihat?”, katanya tersenyum.
Kutarik buku itu dan kutunjukkan padanya, “Ini?”. Tertulis daily journal dengan corak yang agak tak beraturan pada kovernya. Tentu saja ini buku diari, pikirku. Lalu kuserahkan padanya. Ia menolak dengan senyum kecil.
“Bawalah pulang...”
“Eh, tidak, aku tak bisa. Ini buku pribadi. Kau bercanda?,” jawabku ragu.
“Aku serius kawan,”
“Beneran? Tapi apa maksudnya ini?” kataku mencoba mencari penjelasan.
“Tak ada maksud apa-apa. Hanya aku ingin menceritakan sesuatu padamu, lewat catatanku ini,” pandangannya dilempar pada jendela.
“Hehe,.. mengapa baru sekarang kau lakukan ini,” jawabku sambil kutinju lengannya.
Melihat tanganku yang gatal ingin membukanya, ia memperingatkan, “tidak! jangan!, jangan didepanku.... Nah, begitu. Bawalah pulang, bacalah dirumah, tapi jangan kau tertawakan.”
“Aha, pasti rahasiamu yang memalukan? Benarkan?” aku mencoba mencairkan suasana.