Saat itu kami masih mahasiswa tingkat dua. Ia kuliah di Undip, sedang aku di UNNES, sama-sama di daerah Semarang. Kami bersahabat sejak SMP. Ia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Dan sebagai saudara, apabila yang satu susah, lainnya akan membantu. Dan percakapan itu mulai sering muncul diantara kami. Ia selalu—selalu saja—mengeluhkan orangtuanya. Karena rasa kasih yang terlalu mendalam dari seorang anak terhadap bapak-ibunya.
“Aku tak tega melihat orangtuaku bekerja seperti itu, sedang aku hanya kluyuran saja di kampus,” keluhnya padaku.
“Kluyuran? menurutku kau sedikit berlebihan,” bantahku tak setuju dengan istilahnya.
“Well, aku tahu maksudmu. Hanya saja… menurutku tanggungjawab sebagai seorang anak tidak cukup belajar saja di kampus, membantu orangtua juga perlu.”
“Itu tanggungjawab moral,” jawabku tak peduli dengan gagasannya. Bukankah kuliah sungguh-sungguh sudah termasuk membantu orangtua. Kan itu yang mereka harapkan.
“Bisa juga kau buat istilah macam-macam. ‘tanggungjawab moral’? hehe…,”, jawabnya terkekeh.
Aku pura-pura tak mendengar, dan melanjutkan permasalahan.
“Jadi, apa rencanamu?” kataku.
Ia mendeham, menimbang-nimbang keputusannya seolah baru dipikirkannya sekarang, “mungkin aku akan ikut proyek yang ditawarkan dosen, atau senior barangkali. Hanya resikonya cukup berat; kuliah bisa tercecer tak terurus,” ia diam sejenak, menghela nafas dan melanjutkan “...kau tentu tahu aku tak bisa diam diri seperti ini, kasihan mereka, orangtuaku”
“Ambisimu itu, dan...,” aku mendengus ragu “...jangan sampai kau terlena pekerjaan, itu sering terjadi. Ingat senior-seniormu itu. Mereka sukses, dapat uang banyak, tapi akhirnya kena DO. Tahu kau DO!, Drop Out.”
Ia tertawa puas. Puas dengan pendapatku yang berlainan dengan pemikirannya. Dan percakapan itu selalu berakhir seperti itu. Selalu.