[caption caption="Dok. Pri | Kabarnya Abang saya juga tertarik dengan sepeda sang pria berumur loh"]
Awal kedatangannya ia seperti remaja kebanyakan, namun perlahan saya melihat ada yang membedakan Sholeh dengan teman-temannya. Memang butuh waktu lama untuk mengetahui apa yang membedakan Sholeh dengan teman-temannya, namun suatu hari saya melihat Sholeh mengendarai sepeda. Ya, matanya berbinar dan bibirnya tersenyum lepas kala mengendarai sepeda.
Kegemaran Sholeh dalam bersepeda bisa dikatakan cukup luar biasa, karena entah bagaimana ceritanya, Sholeh tidak melanjutkan sekolah di lembaga yang Kakek saya kelola. Sholeh lebih memilih untuk bersepeda berkeliling Indonesia, dan meninggalkan lembaga pendidikan tersebut. Jujur dalam posisi sebagai anak SD, saya berfikir bahwa itu hal yang gila.
Tapi setelah kepergiannya dari lembaga pendidikan, Sholeh kembali setelah beberapa tahun kemudian. Namun saya masih ingat bahwa saat itu saya sudah menginjak jenjang SMP, saya bertanya kepada Sholeh sudah sampai kemana ia bersepeda. Dengan senyum lebar dengan wajah gelapnya ia berujar dengan mantap “Bali”.
Saya bilang itu tidak mungkin kepada Sholeh, hingga beranggapan ia berbohong. Namun sialnya Sholeh hanya menyodorkan sebuah buku tulis kepada saya. Perlahan buku itu saya buka, memang bukan tulisan hariannya akan perjalanan atau kumpulan foto-foto perjalanan. Buku tulis itu berisikan cap stempel kepolisian dari berbagai kota dan baginya buku tersebut adalah saksi bisu perjalannya. Ya saksi dimana Sholeh pernah menjelajahi berbagai kota dengan sepeda.
Lalu saya bertanya apa yang ia dapatkan dari perjalanannya selama bertahun-tahun itu? ia hanya mengatakan dengan tenang: “saya mendapatkan pelajaran yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah”. Ya, hanya itu yang ia katakan. Ketika itu saya pun teringat perkataan Kakek saya bahwa “perjalanan adalah sekolah yang paling besar”. Sejak saat itu, saya sangat ingin melakukan berbagai perjalanan dan mengetahui apa yang ada dalam sekolah bernama perjalanan.
Dan setelah masa SMP dimana saya terakhir bertemu, hingga saat ini Sholeh tak tahu dimana rimbanya. Akan tetapi, yang saya ketahui bahwa ia pernah beberapa kali masuk media massa lokal Bandung.
Lama setelah kepergian Sholeh, bisa dikatakan impian untuk bepergian itu mengendap dalam diri.
Kedua, pemantik impian itu adalah Mbah Polenk. Ya, ini semua “ini gara-gara Mbah Polenk!!”. Iya, impian ini hadir karena seorang pria berumur yang saya temui beberapa tahun lalu bersama keluarga ketika hendak ke Bali untuk berlibur.
Dalam perjalanan menuju Bali, Ayah berhenti untuk beristirahat di kawasan Taman Nasional Baluran yang tidak terlalu jauh dari pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Saat itu Ayah memilih sebuah warung yang cukup nyaman, dan ditempat itulah kami melihat seorang pria rambut putih dengan potongan cepak, wajah bulat dengan kacamata tebal dan baju kaos yang banjir dengan keringat. Namun yang mengherankan ia tampak segar dan bugar dalam keadaan bercucuran keringat.