Â
Di pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani proses belajarnya selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mualimien al Islamiah) Gontor Ponorogo pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan yang dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya, terkait dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat di Masyumi.[2] Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Cak Nur yang fenomenal itu, diperhatikan oleh KH. Zarkasyi, salah satu pengasuh pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo Mesir.Â
Â
Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat Nasional tersebut merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme kehidupannya. Pada sisi lain, keterlibatannya pada kegiatan Internasional yakni kunjungannya ke Timur Tengah dan ke Amerika Serikat telah semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat itulah, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. 15 Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cumlaude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran Ibnu Taymiah dengan judul "Ibn Taymiyah dalam ilmu kalam dan filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam" (Ibn Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in Islam). Disertasi doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman dirinya terhadap tokoh tersebut.[3]
Â
2. SekularisasiÂ
Â
Ide sekularisasi Nurcholish Madjid pertama kali muncul saat beliau berkesempatan memberikan ceramah dalam acara beberapa organisasi mahasiswa pada 3 Januari 1970. Nurcholish Madjid mengajurkan sekularisasi sebagai sebuah bentuk pembebasan dari segala pandangan-pandangan keliru yang dianggapnya telah mapan, namun Nurcholish Madjid sendiri tidak bermaksud menerima paham sekularisme, bahkan secara tegas ia menolaknya. Memulai anjurannya, Nurcholish Madjid mengatakan; "Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip dengan agama.[4]
Â
Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal."
Â