Laki-laki penyabar itu kini terbujur kaku di balik peti berselimutkan merah putih. Ia pergi dengan membawa cinta yang kutanam di taman hatinya. Di barisan paling depan aku menghantarnya menuju dunia yang abadi. Air mataku telah mengering, hanya isakan demi isakan yang terlontar dari bibirku menahan dada yang kian terasa sesak.
Di bawah tanah merah yang masih basah, kuyakin engkau bahagia di sana. Aku mencoba menahan butiran kristal yang menggantung di mataku. Aku tak ingin Mas Fatih menyaksikan dukaku. Irama doa yang dilantunkan para pengiring sedikit menenangkan kegusaran hatiku. Aku duduk bersimpuh dan memeluk batu nisan putih yang terukir namanya. Kutenggelamkan jiwa juga pikiranku pada lautan rindu dan kenangan bersama Mas Fatih.
“Jangan terlalu mencintaiku, sayang. Aku bisa mati kesenangan karenamu.” Kuulang kata-kata yang pernah ia ucapkan dulu sebelum ia berangkat tugas.
***
“Merah darahmu tlah mengalir dan menyelimuti putihnya penantianku menyambut darah dagingmu, buah cintamu,” kubisik lirih pada bayangan itu. Bayangan yang perlahan menjauh dan terlihat buram dengan senyum yang semakin bias. Kuhantar kepulangannya ke dunia yang abadi dengan doa yang tiada berjeda.
***