“Jangan terlalu mencintaiku, sayang. Aku bisa mati kesenangan karenamu.” Mas Fatih memelukku hangat.
“Tahukah kau, sayang? Cintamu menghujam jantungku dan menghentikannya berdetak,” sambungnya tepat di telingaku, berbisik. Aku pun mencubit perutnya yang sedikit berlemak. Ia terkekeh menahan geli di perutnya.
***
Tujuh kali purnama aku menanti dengan harap-harap cemas. Tugasnya berakhir dua bulan lagi. Antara Merauke dan Kalimantan harus menghabiskan waktu hampir sebulan dalam perjalanan, jika dihitung-hitung tiga kali purnama lagi aku harus menanti, sedang menurut dokter persalinanku diprediksi dua bulan lagi. Penantian yang kurasa cukup panjang ini kuisi dengan kesibukan yang dapat menghalau gelisahku dan menepis rinduku.
“Bu Fatih, wah, rajin sekali!” Sapa Bu Erna tetanggaku saat aku menyapu halaman. Ia adalah istri dari danru suamiku.
“Eh, Bu Erna! Sambil olahraga ini, Bu.”
“Sehat terus, ya! Begitulah, harus hebat menjadi istri prajurit. Saya dulu juga begitu, bedanya bapak dikirim tugas setelah saya melahirkan.” Cerita Bu Erna. Aku tersenyum menimpalinya. Ia pun pamit dan berlalu bersama anaknya.
***
Aku menatap layar kaca televisi. Berita perlawanan dari pemberontak mencapai puncaknya. Baku tembak pun tak dapat dihindari. Tubuhku merinding, kudukku bergidik. Banyak korban yang dinyatakan tewas. Wajah Mas Fatih terlintas di benakku. Ia berada di tengah pemberontakan itu. Ya, Allah lindungi suamiku dalam tugasnya menjaga negara ini.
Mataku semakin nanar menyaksikan berita pergolakan itu. Tiada terasa butiran kristal pun meluncur di kedua pipiku. Kupeluk foto Mas Fatih dengan erat. Aku hanya bisa mengirim doa untuknya yang berada di tanah cenderawasih. Hanya melalui televisi aku mendapatkan kabar tentang perkembangan di sana. Selintas, bayangan Mas Fatih menari-nari di benakku.
“Doakan aku, Aisyah. Hanya doamu yang dapat menjagaku di sini.” Terngiang ucapan Mas Fatih saat menelponku tiga hari yang lalu.
***
Hari persalinanku tinggal hitungan jari dan ini semakin membuatku cemas. Hidup di asrama tanpa sanak famili sedikit mengguncang psikisku. Kedua orang tuaku tinggal di pulau jawa, sedang mertua tinggal di Tenggarong.
“Pulang saja ke jawa, Nak. Biar Ibu yang menemanimu selama kehamilan dan persalinanmu nanti.” Ucap ibuku tiga bulan lalu yang langsung kutolak secara halus dan ibu mengerti keadaanku. Aku tak akan meninggalkan asrama selama Mas Fatih bertugas, karena memang itulah tugasku sebagai istri prajurit.
“Kamu belum mengajukan cuti?” Suara cemas ibu mertuaku terdengar di ujung telepon.
“Sudah, Bu. Tapi masa cutinya nanti, seminggu lagi.”
“Jadi, kamu masih mengajar? Bagaimana dengan kandunganmu?”
“Iya, Bu. Aku baik, Bu. Aku hanya membutuhkan doa ibu dan bapak di sana.”
“Nanti Ibu usahakan untuk ke Batulicin dengan bapak.” Ucapan terakhir ibu sedikit memberikan angin segar di hatiku.
***
Tujuh hari menjelang hari bersejarah itu, kusiapkan segala perlengkapannya sendiri. Semua baju untuk ganti kumasukkan dalam tas. Tak ketinggalan, foto Mas Fatih yang terbingkai kayu jati berukuran kecil itu pun kusiapkan. Foto itu memberikan kekuatan dalam persalinanku. Setelah semuanya beres, aku berusaha menelpon Mas Fatih. Tapi, tetap saja dia sulit untuk dihubungi.
“Tok .... Tok .... Tok ....”
Terdengar suara ketukan di pintu kayu yang mulai banyak lubang karena usianya yang tak belia lagi.
“Assalamu’alaikum. Aisyah ...!”
“Wa’alaikumsalam,” dengan sedikit terburu-buru kubuka pintu.
“Ibu. Bapak.” Kusambut mereka dengan mencium tangannya. “Aku bahagia, Ibu dan Bapak benar-benar ke sini,” sambungku.
“Ibu mengkhawatirkanmu, Syah.” Ibu memelukku erat dan tangannya mengelus perutku yang bak gunung hampir meletus.
Kehadiran ibu dan bapak mertua sangat memberikan dampak postif bagi psikisku. Aku semakin siap dalam menghadapi persalinanku.
***
Kumenanti hari yang membahagiakan itu dengan menikmati setiap tendangan-tendangan jabang bayiku. Tak lama lagi, aku akan menjadi seorang ibu seutuhnya dan semua akan terasa lengkap saat buah cintaku dengan Mas Fatih lahir ke dunia. Aku semakin tak sabar menanti kehadirannya.
Kutatap lekat foto Mas Fatih dan kususuri di lekuk wajahnya yang tergambar di sana. Senyum manis dan tatap teduh matanya terasa ada di depan mata. Seolah-olah ia hadir dan menemaniku. Sejurus, tendangan di perutku pun kian aktif. Apa mungkin jabang bayiku juga merasakan hal yang sama? Sebuah kerinduan yang menggila pada laki-laki yang kunikahi setahun yang lalu.
“Tok .... Tok .... Tok ....”
“Assalamu’alaikum. Bu Aisyah ...!” terdengar suara Bu Erna yang sudah kuhafal cirinya. “Bu, Bu Aisyah,” sambungnya seakan tak sabar.
“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Bu.? tanyaku penasaran.
Tak ada jawaban. Tangannya memelukku dengan erat. Matanya sembab dan air matanya tumpah membasahi pipinya. Aku tak mengerti mendapati tingkah Bu Erna yang kuanggap aneh.
“Bu, sebenarnya ada apa? Ibu ada masalah?” aku kebingungan.
“Bu Aisyah yang sabar, ya!” suaranya lirih. Aku mengangguk tak mengerti.
“Bu, itu!” tangannya menunjuk mobil ambulance yang masuk di halaman rumahku. Longlongan sirinenya memekakkan gendang telingaku.
Kedua kakiku lemas tak kuasa menopang tubuhku. Ada apa dengan Mas Fatih? Tidak mungkin! Tidak mungkin! Dadaku sesak. Helaan nafasku semakin berat. Aku rubuh di sambut Bu Erna dan semuanya berakhir gelap.
***
Aku merasa tidur terlalu lama. Kepalaku terasa sakit. Aku mengerjip-ngerjipkan mataku yang masih terasa berat untuk kubuka. Aroma minyak kayu putih menusuk di indra penciumanku. Kedua tanganku digenggam erat, entah siapa yang menggenggam tak jelas kulihat. Aku mencoba mengingat kembali peristiwa sebelum aku tertidur. Tapi, aku gagal. Kepalaku semakin terasa sakit saat terus berusaha mengingatnya.
Kusapu ruangan di sekelilingku. Mataku tersandung pada foto yang menempel di dinding. Mas Fatih? Pandanganku mengitari seisi ruangan. Banyak ibu-ibu tetanggaku yang mengerumuniku. Ada apa ini? Aku berusaha bangkit. Bu Erna memapahku keluar kamar. Langkahku terhenti saat mataku menatap peti kayu berselimut merah putih. Di sekelilingnya banyak tetanggaku, teman-teman Mas Fatih sedang mengaji. Kakiku kembali lemas. Kuhampiri peti yang di atasnya ada rangkaian bunga dan foto Mas Fatih.
“Mas Fatih, kau pulang lebih awal dari masa tugasmu. Apakah kau ingin menemaniku melahirkan, Mas?” Ucapku di antara tangis yang menggema. Kususuri wajahnya yang terbingkai kayu jati, kayu yang sama di balik merah putih itu.
“Rupanya kau tak ingin melewatkan hari bahagia itu. Kita akan bersama menyambut buah cinta ini, Mas.” Kupeluk peti itu dengan penuh kerinduan. Rindu yang bermuara pada kesedihan.
Laki-laki penyabar itu kini terbujur kaku di balik peti berselimutkan merah putih. Ia pergi dengan membawa cinta yang kutanam di taman hatinya. Di barisan paling depan aku menghantarnya menuju dunia yang abadi. Air mataku telah mengering, hanya isakan demi isakan yang terlontar dari bibirku menahan dada yang kian terasa sesak.
Di bawah tanah merah yang masih basah, kuyakin engkau bahagia di sana. Aku mencoba menahan butiran kristal yang menggantung di mataku. Aku tak ingin Mas Fatih menyaksikan dukaku. Irama doa yang dilantunkan para pengiring sedikit menenangkan kegusaran hatiku. Aku duduk bersimpuh dan memeluk batu nisan putih yang terukir namanya. Kutenggelamkan jiwa juga pikiranku pada lautan rindu dan kenangan bersama Mas Fatih.
“Jangan terlalu mencintaiku, sayang. Aku bisa mati kesenangan karenamu.” Kuulang kata-kata yang pernah ia ucapkan dulu sebelum ia berangkat tugas.
***
“Merah darahmu tlah mengalir dan menyelimuti putihnya penantianku menyambut darah dagingmu, buah cintamu,” kubisik lirih pada bayangan itu. Bayangan yang perlahan menjauh dan terlihat buram dengan senyum yang semakin bias. Kuhantar kepulangannya ke dunia yang abadi dengan doa yang tiada berjeda.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H