“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Bu.? tanyaku penasaran.
Tak ada jawaban. Tangannya memelukku dengan erat. Matanya sembab dan air matanya tumpah membasahi pipinya. Aku tak mengerti mendapati tingkah Bu Erna yang kuanggap aneh.
“Bu, sebenarnya ada apa? Ibu ada masalah?” aku kebingungan.
“Bu Aisyah yang sabar, ya!” suaranya lirih. Aku mengangguk tak mengerti.
“Bu, itu!” tangannya menunjuk mobil ambulance yang masuk di halaman rumahku. Longlongan sirinenya memekakkan gendang telingaku.
Kedua kakiku lemas tak kuasa menopang tubuhku. Ada apa dengan Mas Fatih? Tidak mungkin! Tidak mungkin! Dadaku sesak. Helaan nafasku semakin berat. Aku rubuh di sambut Bu Erna dan semuanya berakhir gelap.
***
Aku merasa tidur terlalu lama. Kepalaku terasa sakit. Aku mengerjip-ngerjipkan mataku yang masih terasa berat untuk kubuka. Aroma minyak kayu putih menusuk di indra penciumanku. Kedua tanganku digenggam erat, entah siapa yang menggenggam tak jelas kulihat. Aku mencoba mengingat kembali peristiwa sebelum aku tertidur. Tapi, aku gagal. Kepalaku semakin terasa sakit saat terus berusaha mengingatnya.
Kusapu ruangan di sekelilingku. Mataku tersandung pada foto yang menempel di dinding. Mas Fatih? Pandanganku mengitari seisi ruangan. Banyak ibu-ibu tetanggaku yang mengerumuniku. Ada apa ini? Aku berusaha bangkit. Bu Erna memapahku keluar kamar. Langkahku terhenti saat mataku menatap peti kayu berselimut merah putih. Di sekelilingnya banyak tetanggaku, teman-teman Mas Fatih sedang mengaji. Kakiku kembali lemas. Kuhampiri peti yang di atasnya ada rangkaian bunga dan foto Mas Fatih.
“Mas Fatih, kau pulang lebih awal dari masa tugasmu. Apakah kau ingin menemaniku melahirkan, Mas?” Ucapku di antara tangis yang menggema. Kususuri wajahnya yang terbingkai kayu jati, kayu yang sama di balik merah putih itu.
“Rupanya kau tak ingin melewatkan hari bahagia itu. Kita akan bersama menyambut buah cinta ini, Mas.” Kupeluk peti itu dengan penuh kerinduan. Rindu yang bermuara pada kesedihan.